“Halo, Ardi. Bagaimana,
ada kabar dari Melati?!” tanya Jabir menghampiriku. Ia meletakkan seberkas file
ke mejaku.
Aku hanya tersenyum,
berkas file yang disodorkan Jabir kumasukkan ke dalam filling kabinet yang ada
disamping mejaku. “Melati udah pergi. Jauh......... jauh sekali. Mungkin
nggakkan kembali”.
Jabir melongok kearahku,
seakan tidak percaya dengan apa yang kuucapkan. “Maksudmu, Melati minggat? Ah,
yang benar aja kamu, Ar..........!”
“Memang sulit untuk
dimengerti. Tapi itulah yang terjadi”.
Nampaknya Jabir tidak
rela kalau Melati menghilang dari kehidupanku, ia sangat simpatik dan salut
terhadap apa yang selama ini aku lakukan dalam merubah kehidupan seseorang.
Yah! Tak rela. Tak ada
orang yang rela atas kepergian seseorang yang sangat dicintainya.
Mempertaruhkan jiwa raga dan harga diri dalam menggapai cinta sejati.
“Jadi, apa yang kamu
lakukan sekarang?” tanya Jabir.
Aku menatap Jabir sendu.
Apa yang harus saya lakukan sekarang? Aku menunggu, mengharap atau masa bodoh.
“Aku berharap dia mengerti. Mengerti dengan semua ini. Seharusnya dia tahu
bahwa dalam membina cinta sejati harus melalui rintangan dan cobaan. Tak semua
kebahagiaan itu digapai seumpama membalik telapak tangan”.
Telepon dimejaku
berdering, Rupanya Pak Agus memanggilku untuk mengahdap. Pak Agus adalah Kepala
Bagian dimana aku bekerja. Aku tinggalkan Jabir yang ikut pusing memikirkan
kepergian Melati. Seharusnya aku berterima kasih kepadanya, namun ucapan itu
mungkin akan kuucapkan pada saat yang istimewa. Dimana hari kebahagiaan itu
tiba, hari indah bersama Melati.
Aku mengetuk pintu kamar
pak Agus.
“Masuk!”
Ku buka pintu, lalu
menuju pimpinan yang duduk dimeja kerjanya.
“Silahkan duduk. Begini,
aku melihat sudah dua hari kamu tidak masuk kerja,” sambil melepaskan kaca
mata, Pak Agus bersandar dikursinya. “Kemana saja kamu selama ini? Padahal
banyak tugas yang harus kamu selesaikan pada minggu-minggu ini. Kalau ada
persoalan atau permasalahan sehingga kamu tidak masuk kantor, seharusnya kamu
hubungi saya. Ingat Ardi, kamu sudah saya kirimkan ke Medan untuk mengikuti
Diklat, semua itu untuk menunjang prestasi kerjamu di sini. Jangan gara-gara
persoalan pribadi, kamu korbankan pekerjaan kantor. Kamu di sini di gaji
negara. Kamu tahu, yang namanya korupsi itu
bukan saja seseorang melakukan penyelewengan keuangan saja. Akan tetapi
penggunaan waktu yang tidak tepat itu termasuk juga korupsi.”
Aku terdiam. Sekelumit
persoalan terus menggerogoti kehidupanku. Aku tidak menyalahkan beliau. Tapi
Melati telah hilang dari kehidupanku, konsentrasiku hilang sehingga pikiranku
hanya pada Melati saja.
“Aku minta maaf, pak.
Selama ini aku terlalu memikirkan orang lain yang selama ini telah banyak
menyemangati aku dalam berkarya. Pak, seandainya bapak diposisiku sekarang, apa
yang harus bapak lakukan?”
“Maksudmu apa?”
Aku berterus terang
saja, karena merupakan sekelumit persoalan bathin yang berdampak pada kinerja
seseorang. Aku ceritakan peristiwa demi peristiwa sehingga mengapa seorang
Melati bisa terpaut dalam hatiku hingga ia minggat dan menjauh dari
kehidupanku. Ku buka tabir agar terkuak permasalahaan, semoga jalan keluar akan
terbentang dihadapanku.
Aku melukiskan sebuah
wajah di dalam pikiranku, sebuah wajah yang selalu tersenyum menghiasi
pikiranku. Aku terlena dan terus melukis. Lukisan yang menguak tabir kehidupan,
dengan jarak diantara jerusi-jerusi besi.
Diranjang rumah
terkadang lukisan ini masih menghiasi, serasa senyum bidadari yang
melayang-layang diantara ada dan tiada. Walau kegalauan terus menanjak
kebukit-bukit hati di setiap dinding kalbu.
Kuteguk segelas air
putih yang telah kuisi dengan es, tenggorokan terasa nyaman. Terasa lepas dari
kekeringan yang terus merongrong tiap detik, tiap saat dan setiap persoalan.
Aku masih menunggu kabar dari Melati, hingga kini tak satupun surat yang
dilayangkan padaku. Mataku terpejam, aku berpikir, ini sudah takdir yang
diatas, ada pertemuan pasti ada perpisahan. Ah, apakah iya, haruskah aku
pasrah. Tiba-tiba telepon rumahku berbunyi. Hatiku bergetar, nadiku tak
beraturan lagi, pikiran berkecamuk. Melati, kamukah itu? Kuangkat pelan,
“Assalammualikum”
“Waalaikumsalam, Ardi
ini ayah. Bagaimana Kabarmu?”
“Alhamdulillah, sehat,
yah. Ayah sendiri bagaimana?”
“Alhamdulillah, dengan
doa kalian Ayah sehat-sehat saja. Oh, ya Insya Allah dalam bulan ini, kalau
tidak ada rintangan kakakmu Mira akan melangsungkan pernikahan sekaligus
peresmiannya. Ayah harap kamu bisa pulang untuk mengurus dan membantu di
rumah.”
“Syukur Alhamdulillah,
saya senang mendengarnya, Yah. Kak Mira akhirnya mendapatkan anugerah yang
sangat indah. Insya Allah, akan saya usahakan, untuk pulang.”
Kupejamkan mata dengan
sejuta harapan, semoga ada hari yang indah dan cerah. Aku berpikir sebuah
pernikahan, andai aku dan Melati bisa melaksanakan sunnah Rasul dan Perintah
Allah alangkah bahagianya, karena Allah telah memerintahkan kepada kaum
muslimin agar mempermudah jalan dan cara bagi seseorang untuk menuju sebuah
pernikahan. Allah Ta’ala juga telah menjanjikan kepada hamba-hamba yang
dicintai-Nya bahwa Dia akan menjaga jiwa mereka dari hal-hal yang haram dengan
memberikan kecukupan dan kelapangan di dalam mendapatkan rizki.
Dalam firmannya Allah
SWT mengatakan : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu,
dan orang-orang yang layak (untuk kawin) dari hamba-hamba sahaya yang lelaki
dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan
memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi
Maha Mengetahui.” (Qs. An Nuur (24) : 32).
Tsumani Itu
Pagi
minggu, Jabir kerumah. Ia mengajakku kepantai untuk menghilangkan kegagalauan
dan kesedihan. Tampat yang paling cocok
adalah dimana orang ramai menikmati panorama alam pantai. Ia mengajakku ke
Pante Cermin Ulee Lhee. Saat ia
mengajak, aku menolaknya alasan kurang sehat. Akan tetapi kalau dipikir usulan
Jabir betul juga, siapa tahu saat sampai disana semua persoalan akan berkurang.
Hari masih pagi, suasana sangat indah. Langit
nampak cerah. Tak ada tanda-tanda akan turun hujan. Di jalan, para pejoging
mulai ramai sepanjang jalan protokol. Anak-anak sekolah perawat secara
bergerombolan menuju ke lapangan Blangpadang. Menurut informasi ada acara
perlombaan lari yang diadakah oleh pemerintah kota Banda Aceh. Aku memang tidak
berminat untuk mengikuti lomba tersebut.
Dengan
mengederai motor Jabir, kami menuju ke Ulee Lhee. Akan tetapi sesampainya di
kawasan Blangpadang, tiba-tiba Jabir menghentikan motornya dan matanya tertuju
pada seorang cewek yang lagi joging mengitari lapangan.
”Itu
kayaknya Melati, Ar.”
”Mana!?”
Jawabku spontan
Aku melongok ke arah yang ditunjuk Jabir. Yah,
memang Melati, katanya dia di Medan, ini kok ada disini. Aku melompat dari atas
motor lalu mengejar wanita tersebut. Kuikuti langkahnya pelan dari arah
belakang. Hatiku bergetar keras. Wah bagaimana kalau ia marah dan menyumpahiku
dan memaki-maki didepan orang ramai? Ah.. tapi nggak mengapa yang penting
persoalan ini harus dijelaskan. Aku mencoba memanggil wanita tersebut.
”Mel......
mel......” wanita tidak menjawab. Mungkin ia sudah tahu kalu aku sedang
mengejarnya.
Kupercepat
langkahku hingga menyentuh bahunya, ”Melati.....Ini aku, Ardi.
Wanita
yang aku sebut namanya Melati menengok ke arahku. Astaqfirullah, aku kira
wanita tersebut Melati. Dilihat dari penampilan dan cara berpakaiannya persis
sama.
”Maaf,
bang. Saya bukan Melati.”
”Iya,
sorry. Aku salah.”
Wanita
tersenyum lalu meninggalkan aku yang lagi stres. Yah, aku memang sudah gila.
Melati, kau membuat aku menjadi gila.
Di tepi tanggul pinggiran
Blangpadang kududuk termenung. Pikiran dan perasaan ini hampa. Aku mencoba
menguasai diri agar tidak lepas kendali dan dianggap aku ini orang yang sudah
putus asa. Jabirpun mendekatiku, ia nampaknya bersalah karena telah
memperlihatkan wanita tersebut. Kalau dilihat dari segi penampilan, Jabir
memang tidak salah. Ia menepuk bahuku. ”Sudahlah, mungkin ini cobaan bagimu.”
”Aku malu. Aku malu pada
diriku sendiri. Kamu tadi lihatkan, rasanya wanita itu perolokkan aku.”
”Itu perasaanmu saja,
Ar. Mana mungkin ia memperolokkan dirimu. Malah ia tersenyum padamu. Sudahlah, gimana apa
kita teruskan perjalanan ini?”
Dengan rasa malas, aku ikuti
langkah Jabir. Pagi itu sudah
terasa panas. Angin bertiup bukan lagi terasa dingin, ada hawa panas yang
menyelimuti tubuhku. Jabir mempercapat laja motornya, sehingga membuat tatanan
rambutku terurai.
Suasana di pantai cermin Ulee
Lhee sudah begitu ramai. Semuanya berpasangan dan bermesraan. Asik menikmati
panorama pagi di tepi tanggul dan di kafe-kafe yang ada disekitar pantai. Cerah
pagi minggu ini. Sebagian ada yang sudah pulang dengan pakaian yang masih basah
dan berdesakan di dalam bis labi-labi. Akan tetapi yang datangpun semakin ramai. Baik datang secara berkeluarga,
colega maupun dengan pacar masing-masing.
Saat begini pikiranku tertuju
sama Melati. Andaikan dia ada bersamaku saat ini, alangkah bahagianya diriku.
Saling bergandeng tangan dan berjalan menyelusuri tepian pantai. Walau banyak
orang yang melihat, namun tak menghiraukannya. Berlari kecil menghindar dari
kejaran ombak yang merangkak ketepian pantai. Sesekali membasuhkan kaki dengan
air asin lalu menyirami Melati dan diapun membalas dengan pasir putih sehingga
masuk ke dalam bajuku.
Ah! Tak mungkin ini terjadi,
dan tak akan ada kemesraan yang seperti kuimpikan. Semua sudah sirna ditelan
ombak. Kemesraan seperti mereka, yang diujung sana sebelum merapat ke Pelabuhan
Ulee Lhee. Disebuah tanggul yang berjajar ditepian pantai. Bagaimana batu-batu
tanggul itu berjejer, begitupun para insan yang lagi kasmaran berjejer hingga
keujung sana.
Kamipun merepat di pelabuhan
Ulee Lhee, dan mencari tempat suasan yang nyaman. Disebuah batu besarpun kami
mencoba mencari ilham dan mengutarakan isi hati kepada alunan ombak yang saling
kejar meraih pantai.
Nun disana, aku melihat para
pengunjung sedang merendamkan badannya di laut. Sesekali bermain dengan
deburuan ombak sehingga terlihat naik-turun dibelai laut. Asyiknya, sehingga walau terik matahari kian
memanas dan membakar kulit namun tak dihiraukan mereka. Tak ada ganjalan dalam
hati mereka, mereka merasakan betapa indahnya hidup ini. Tak seperti diriku ini, rasanya sunyi dan sepi. Tak kegairahan yang
menemani diriku. Pikiranku hanya pada Melati, entah dimana dia sekarang. Dan
entah dengan siapa. Apakah ia betul-betul melupakan diriku? Begitu bencinya dia
terhadap orang tuaku?
Yang aku takutkan
adalah ia akan kembali lagi ke alamnya yang dulu. Karena ia merasa di dunia ini
memang tak pernah lagi diharapkan, ia kini dan dulu dianggap sama. Padahal ia telah mencoba merubah
arah hidupnya selama dia kenal denganku.
Jam menunjukkan pukul
7.00 lewat. Aku terkejut saat
batu tempat dudukku bergoyang. Aku berpikir Jabir sengaja menggangguku, karena dari tadi aku cuma
bengong saja dan tak gairah. Akupun melihat ke arahnya dan diapun ikut bergoyong dan semakin kencang.
“Gampa.........” teriakku
sambil meloncat dari tempat duduk dan mudur beberapa meter kebelakang. Semakin
kuat sehingga air laut bergoyang laksana dalam sebuah belanga besar. Aku
penasaran lalu dan kembali menaiki tanggul batu. Tatkala melihat pesisir laut
kering hingga sampai ketengah, sehingga dasar laut jelas kelihatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar