7. Saat Musibah Itu Datang



“Halo, Ardi. Bagaimana, ada kabar dari Melati?!” tanya Jabir menghampiriku. Ia meletakkan seberkas file ke mejaku.
Aku hanya tersenyum, berkas file yang disodorkan Jabir kumasukkan ke dalam filling kabinet yang ada disamping mejaku. “Melati udah pergi. Jauh......... jauh sekali. Mungkin nggakkan kembali”.
Jabir melongok kearahku, seakan tidak percaya dengan apa yang kuucapkan. “Maksudmu, Melati minggat? Ah, yang benar aja kamu, Ar..........!”
“Memang sulit untuk dimengerti. Tapi itulah yang terjadi”.
Nampaknya Jabir tidak rela kalau Melati menghilang dari kehidupanku, ia sangat simpatik dan salut terhadap apa yang selama ini aku lakukan dalam merubah kehidupan seseorang.
Yah! Tak rela. Tak ada orang yang rela atas kepergian seseorang yang sangat dicintainya. Mempertaruhkan jiwa raga dan harga diri dalam menggapai cinta sejati.
“Jadi, apa yang kamu lakukan sekarang?” tanya Jabir.
Aku menatap Jabir sendu. Apa yang harus saya lakukan sekarang? Aku menunggu, mengharap atau masa bodoh. “Aku berharap dia mengerti. Mengerti dengan semua ini. Seharusnya dia tahu bahwa dalam membina cinta sejati harus melalui rintangan dan cobaan. Tak semua kebahagiaan itu digapai seumpama membalik telapak tangan”.
Telepon dimejaku berdering, Rupanya Pak Agus memanggilku untuk mengahdap. Pak Agus adalah Kepala Bagian dimana aku bekerja. Aku tinggalkan Jabir yang ikut pusing memikirkan kepergian Melati. Seharusnya aku berterima kasih kepadanya, namun ucapan itu mungkin akan kuucapkan pada saat yang istimewa. Dimana hari kebahagiaan itu tiba, hari indah bersama Melati.
Aku mengetuk pintu kamar pak Agus.
“Masuk!”
Ku buka pintu, lalu menuju pimpinan yang duduk dimeja kerjanya.
“Silahkan duduk. Begini, aku melihat sudah dua hari kamu tidak masuk kerja,” sambil melepaskan kaca mata, Pak Agus bersandar dikursinya. “Kemana saja kamu selama ini? Padahal banyak tugas yang harus kamu selesaikan pada minggu-minggu ini. Kalau ada persoalan atau permasalahan sehingga kamu tidak masuk kantor, seharusnya kamu hubungi saya. Ingat Ardi, kamu sudah saya kirimkan ke Medan untuk mengikuti Diklat, semua itu untuk menunjang prestasi kerjamu di sini. Jangan gara-gara persoalan pribadi, kamu korbankan pekerjaan kantor. Kamu di sini di gaji negara. Kamu tahu, yang namanya korupsi itu  bukan saja seseorang melakukan penyelewengan keuangan saja. Akan tetapi penggunaan waktu yang tidak tepat itu termasuk juga korupsi.”
Aku terdiam. Sekelumit persoalan terus menggerogoti kehidupanku. Aku tidak menyalahkan beliau. Tapi Melati telah hilang dari kehidupanku, konsentrasiku hilang sehingga pikiranku hanya pada Melati saja.
“Aku minta maaf, pak. Selama ini aku terlalu memikirkan orang lain yang selama ini telah banyak menyemangati aku dalam berkarya. Pak, seandainya bapak diposisiku sekarang, apa yang harus bapak lakukan?”
“Maksudmu apa?”
Aku berterus terang saja, karena merupakan sekelumit persoalan bathin yang berdampak pada kinerja seseorang. Aku ceritakan peristiwa demi peristiwa sehingga mengapa seorang Melati bisa terpaut dalam hatiku hingga ia minggat dan menjauh dari kehidupanku. Ku buka tabir agar terkuak permasalahaan, semoga jalan keluar akan terbentang dihadapanku.
Aku melukiskan sebuah wajah di dalam pikiranku, sebuah wajah yang selalu tersenyum menghiasi pikiranku. Aku terlena dan terus melukis. Lukisan yang menguak tabir kehidupan, dengan jarak diantara jerusi-jerusi besi.
Diranjang rumah terkadang lukisan ini masih menghiasi, serasa senyum bidadari yang melayang-layang diantara ada dan tiada. Walau kegalauan terus menanjak kebukit-bukit hati di setiap dinding kalbu.
Kuteguk segelas air putih yang telah kuisi dengan es, tenggorokan terasa nyaman. Terasa lepas dari kekeringan yang terus merongrong tiap detik, tiap saat dan setiap persoalan. Aku masih menunggu kabar dari Melati, hingga kini tak satupun surat yang dilayangkan padaku. Mataku terpejam, aku berpikir, ini sudah takdir yang diatas, ada pertemuan pasti ada perpisahan. Ah, apakah iya, haruskah aku pasrah. Tiba-tiba telepon rumahku berbunyi. Hatiku bergetar, nadiku tak beraturan lagi, pikiran berkecamuk. Melati, kamukah itu? Kuangkat pelan, “Assalammualikum”
“Waalaikumsalam, Ardi ini ayah. Bagaimana Kabarmu?”
“Alhamdulillah, sehat, yah. Ayah sendiri bagaimana?”
“Alhamdulillah, dengan doa kalian Ayah sehat-sehat saja. Oh, ya Insya Allah dalam bulan ini, kalau tidak ada rintangan kakakmu Mira akan melangsungkan pernikahan sekaligus peresmiannya. Ayah harap kamu bisa pulang untuk mengurus dan membantu di rumah.”
“Syukur Alhamdulillah, saya senang mendengarnya, Yah. Kak Mira akhirnya mendapatkan anugerah yang sangat indah. Insya Allah, akan saya usahakan, untuk pulang.”
Kupejamkan mata dengan sejuta harapan, semoga ada hari yang indah dan cerah. Aku berpikir sebuah pernikahan, andai aku dan Melati bisa melaksanakan sunnah Rasul dan Perintah Allah alangkah bahagianya, karena Allah telah memerintahkan kepada kaum muslimin agar mempermudah jalan dan cara bagi seseorang untuk menuju sebuah pernikahan. Allah Ta’ala juga telah menjanjikan kepada hamba-hamba yang dicintai-Nya bahwa Dia akan menjaga jiwa mereka dari hal-hal yang haram dengan memberikan kecukupan dan kelapangan di dalam mendapatkan rizki.
Dalam firmannya Allah SWT mengatakan : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (untuk kawin) dari hamba-hamba sahaya yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs. An Nuur (24) : 32).

Tsumani Itu

            Pagi minggu, Jabir kerumah. Ia mengajakku kepantai untuk menghilangkan kegagalauan dan kesedihan.  Tampat yang paling cocok adalah dimana orang ramai menikmati panorama alam pantai. Ia mengajakku ke Pante Cermin Ulee Lhee.  Saat ia mengajak, aku menolaknya alasan kurang sehat. Akan tetapi kalau dipikir usulan Jabir betul juga, siapa tahu saat sampai disana semua persoalan akan berkurang.
            Hari masih pagi, suasana sangat indah. Langit nampak cerah. Tak ada tanda-tanda akan turun hujan. Di jalan, para pejoging mulai ramai sepanjang jalan protokol. Anak-anak sekolah perawat secara bergerombolan menuju ke lapangan Blangpadang. Menurut informasi ada acara perlombaan lari yang diadakah oleh pemerintah kota Banda Aceh. Aku memang tidak berminat untuk mengikuti lomba tersebut.
            Dengan mengederai motor Jabir, kami menuju ke Ulee Lhee. Akan tetapi sesampainya di kawasan Blangpadang, tiba-tiba Jabir menghentikan motornya dan matanya tertuju pada seorang cewek yang lagi joging mengitari lapangan.
            ”Itu kayaknya Melati, Ar.”
            ”Mana!?” Jawabku spontan
            Aku melongok ke arah yang ditunjuk Jabir. Yah, memang Melati, katanya dia di Medan, ini kok ada disini. Aku melompat dari atas motor lalu mengejar wanita tersebut. Kuikuti langkahnya pelan dari arah belakang. Hatiku bergetar keras. Wah bagaimana kalau ia marah dan menyumpahiku dan memaki-maki didepan orang ramai? Ah.. tapi nggak mengapa yang penting persoalan ini harus dijelaskan. Aku mencoba memanggil wanita tersebut.
            ”Mel...... mel......” wanita tidak menjawab. Mungkin ia sudah tahu kalu aku sedang mengejarnya.
            Kupercepat langkahku hingga menyentuh bahunya, ”Melati.....Ini aku, Ardi.
            Wanita yang aku sebut namanya Melati menengok ke arahku. Astaqfirullah, aku kira wanita tersebut Melati. Dilihat dari penampilan dan cara berpakaiannya persis sama.
            ”Maaf, bang. Saya bukan Melati.”
            ”Iya, sorry. Aku salah.”
            Wanita tersenyum lalu meninggalkan aku yang lagi stres. Yah, aku memang sudah gila. Melati, kau membuat aku menjadi gila.
Di tepi tanggul pinggiran Blangpadang kududuk termenung. Pikiran dan perasaan ini hampa. Aku mencoba menguasai diri agar tidak lepas kendali dan dianggap aku ini orang yang sudah putus asa. Jabirpun mendekatiku, ia nampaknya bersalah karena telah memperlihatkan wanita tersebut. Kalau dilihat dari segi penampilan, Jabir memang tidak salah. Ia menepuk bahuku. ”Sudahlah, mungkin ini cobaan bagimu.”
”Aku malu. Aku malu pada diriku sendiri. Kamu tadi lihatkan, rasanya wanita itu perolokkan aku.”
”Itu perasaanmu saja, Ar. Mana mungkin ia memperolokkan dirimu. Malah ia tersenyum padamu. Sudahlah, gimana apa kita teruskan perjalanan ini?”
Dengan rasa malas, aku ikuti langkah Jabir. Pagi itu sudah terasa panas. Angin bertiup bukan lagi terasa dingin, ada hawa panas yang menyelimuti tubuhku. Jabir mempercapat laja motornya, sehingga membuat tatanan rambutku terurai.
Suasana di pantai cermin Ulee Lhee sudah begitu ramai. Semuanya berpasangan dan bermesraan. Asik menikmati panorama pagi di tepi tanggul dan di kafe-kafe yang ada disekitar pantai. Cerah pagi minggu ini. Sebagian ada yang sudah pulang dengan pakaian yang masih basah dan berdesakan di dalam bis labi-labi. Akan tetapi yang datangpun semakin ramai. Baik datang secara berkeluarga, colega maupun dengan pacar masing-masing.
Saat begini pikiranku tertuju sama Melati. Andaikan dia ada bersamaku saat ini, alangkah bahagianya diriku. Saling bergandeng tangan dan berjalan menyelusuri tepian pantai. Walau banyak orang yang melihat, namun tak menghiraukannya. Berlari kecil menghindar dari kejaran ombak yang merangkak ketepian pantai. Sesekali membasuhkan kaki dengan air asin lalu menyirami Melati dan diapun membalas dengan pasir putih sehingga masuk ke dalam bajuku.
Ah! Tak mungkin ini terjadi, dan tak akan ada kemesraan yang seperti kuimpikan. Semua sudah sirna ditelan ombak. Kemesraan seperti mereka, yang diujung sana sebelum merapat ke Pelabuhan Ulee Lhee. Disebuah tanggul yang berjajar ditepian pantai. Bagaimana batu-batu tanggul itu berjejer, begitupun para insan yang lagi kasmaran berjejer hingga keujung sana.
Kamipun merepat di pelabuhan Ulee Lhee, dan mencari tempat suasan yang nyaman. Disebuah batu besarpun kami mencoba mencari ilham dan mengutarakan isi hati kepada alunan ombak yang saling kejar meraih pantai.
Nun disana, aku melihat para pengunjung sedang merendamkan badannya di laut. Sesekali bermain dengan deburuan ombak sehingga terlihat naik-turun dibelai laut.  Asyiknya, sehingga walau terik matahari kian memanas dan membakar kulit namun tak dihiraukan mereka. Tak ada ganjalan dalam hati mereka, mereka merasakan betapa indahnya hidup ini.  Tak seperti diriku ini, rasanya sunyi dan sepi. Tak kegairahan yang menemani diriku. Pikiranku hanya pada Melati, entah dimana dia sekarang. Dan entah dengan siapa. Apakah ia betul-betul melupakan diriku? Begitu bencinya dia terhadap orang tuaku?
Yang aku takutkan adalah ia akan kembali lagi ke alamnya yang dulu. Karena ia merasa di dunia ini memang tak pernah lagi diharapkan, ia kini dan dulu dianggap sama. Padahal ia telah mencoba merubah arah hidupnya selama dia kenal denganku.
Jam menunjukkan pukul 7.00 lewat. Aku terkejut saat batu tempat dudukku bergoyang. Aku berpikir Jabir sengaja menggangguku, karena dari tadi aku cuma bengong saja dan tak gairah. Akupun melihat ke arahnya dan diapun ikut bergoyong dan semakin kencang.
“Gampa.........” teriakku sambil meloncat dari tempat duduk dan mudur beberapa meter kebelakang. Semakin kuat sehingga air laut bergoyang laksana dalam sebuah belanga besar. Aku penasaran lalu dan kembali menaiki tanggul batu. Tatkala melihat pesisir laut kering hingga sampai ketengah, sehingga dasar laut jelas kelihatan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar