Matahari tertutup awan saat
bus Pelangi memasuki halaman parkir
Cunda. Kota gas, kota
kelahiran Melati sang pemikat hati. Tak ada kegiatan yang mencolok di terminal
bus. Biasa-biasa saja, dan saling awas. Mata-mata yang penuh curiga. Tampang-tampang
yang beringas, lusuh.
Aku melangkah menuju parkiran
becak. Dengan naik becak, disamping irit ongkosnya. Kalau ada gang sempit,
becak masih bisa melewatinya dibandingkan taxi. Aku menunjukkan alamat saudara
Melati yang pernah diberitahukan padaku beberapa waktu lalu pada abang becak.
Nampaknya ia kenal betul alamat tersebut. Tawar menawar harga, dan
sepakat.
Yang aku tahu dikota ini
Melati punya abang yang bekerja sebagai PNS pada salah satu intansi pemerintah
kota Lhokseumawe. Alamat rumah cukup jelas, yang terpikir dalam pikiranku
Melati pasti di kota ini. Aku sangat yakin.
Dengan hati yang risau aku
berdiri didepan rumah yang tidak begitu mewah, namun menampakkan bahwa yang
punya rumah itu seorang yang asristik. Dengan tatanan yang apik, di sana sini
nampak bunga-bunga hias yang anggun. Aku
menghampiri pintu rumah yang bercat putih dengan teras yang dilapisi ubin warna
hijau tua.
“Assalammualiakum,” sapaku
sedikit tertekan.
“Waalaikum salam. Siapa, ya?” jawab seorang wanita
dari dalam rumah.
Aku melihat wanita
cantik dengan jilbab panjang membuka pintu, sambil tersenyum wanita itu
mendekatiku. “Ada perlu apa, Dik!”
“Benar ini rumahnya, pak
Sulaiman?”
“O...iya, saya istrinya.
Ada yang bisa saya bantu?”
Aku menatap wanita di
depanku. “Maaf, Melatinya ada, kak. Saya Ardi temannya dari Banda Aceh”.
Wanita yang tak lain
kakak ipar Melati memandang kearahku keheranan. Sambil tersenyum, ia menjabat
tanganku.”Mirna, kakak iparnya Melati, mari masuk dulu. Kamu pasti sangat
capek. Susah nggak cari alamat ini”.
Aku tersenyum saja,
kulihat di sekeliling dinding tergantung foto keluarga. Ada seorang pria
separuh baya menggendong seorang anak kecil, kemudian seorang wanita duduk
diatas kursi. Wanita itu kak Mirna, pria tersebut adalah Sulaiman, abang iparnya.
“Kalau begitu, kamu
mandi dulu di belakang sebelah kiri ada kamar mandi.” Kemudian ia memanggil
seseorang, “Rian ...... Rian, sini sebentar, ada tamu.”
“Ya, bu.” Seorang
laki-laki yang bernama Rian menuju ke arah kami, umurnya kira-kira 15 tahun.
Keponakan Melati.
“Kenalkan, paman Ardi.
Temannya bunda Melati.”
Rian tersenyum sambil
bersalaman. Ia tersipu, karena baru mengenalku. Dari wajahnya bisa dilihat
bahwa ia sangat penurut dan patuh kepada orang tuanya.
Hari semakin panas, tapi
aku heran dari tadi tidak nampak Melati. Yang dipanggil anaknya Rian, Melati
kemana ya? Kalau aku menanyakan sama Rian, nggak enak. Aduh, jadi nggak enak
hatiku ini. Apa dia tidak mau menjumpaiku. Ia betul-betul sedih sehingga enggan
menjumpaiku. Duh..... Melati, sungguh tega dirimu. Padahal jauh-jauh aku kemari
untuk menjumpainya.
Setelah siap mandi. Aku
duduk di ruang tamu. Kulihat Rian sedang menulis, ia sedang mengerjakan PR-nya
diatas meja tamu.
Kemudian Kak Mirna
mendekat dan duduk dekat Rian. “Bagaimana khabarnya dik Ardi.” Tanyanya.
“Apa Melati sering
menceritakan tentang saya?” selidikku mengharap kepastian.
“Sering sih nggak, tapi
ia sangat memujamu. Bahkan ada yang istimewa lagi dari itu”.
“Apa itu?”
Kak Mirna tersenyum,
Dugaanku benar kalau Melati menceritakan semua pada kakak iparnya, juga yang
melukai hatinya?
“Melati dan kamulah yang
tahu, kakak yakin kamu orangnya baik, dan selalu taat beribadah. Tapi sayang,
Melati saat ini tak mau di ganggu. Ia lagi di Medan sama bang Jasli, abangnya
yang kedua. Tapi dik Ardi jangan khawatir, nanti kalau pulang kemari akan kakak
usahakan untuk melunakkan hatinya dan mau kembali sama kamu”.
Hatiku luruh, jiwaku
goncang. Aku tak menduga separah ini yang terjadi. Mungkin Melati benar-benar
hatinya terluka, sehingga tak ada pintu maaf lagi untukku. Begitu sakitnya
sehingga ia mencoba untuk melupakanku, melupakan masa-masa indah yang penuh
kebahagiaan.
Ia memang menghindar,
dan menjauh dariku. Sehingga aku tak bisa menjumpainya lagi. Apa ia ingin
melupakan diriku? Melati, tertutupkah hatimu untukku? Padahal susah senang
telah sama-sama kita jalani, ocehan orang kita anggap angin lalu, omongan orang
kita anggap seumpama pupuk yang menjadi penyebur melati di taman hati yang
terjaga dengan percikan air kebahagiaan. Taman yang dihiasi dengan aneka bunga.
Sejuta warna bersama embun-embun dipagi hari. Sehingga kumbang merasa iri dan
cemburu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar