6. Cinta Semakin Menjauh

Matahari tertutup awan saat bus Pelangi  memasuki halaman parkir Cunda. Kota gas, kota kelahiran Melati sang pemikat hati. Tak ada kegiatan yang mencolok di terminal bus. Biasa-biasa saja, dan saling awas. Mata-mata yang penuh curiga. Tampang-tampang yang beringas, lusuh.
Aku melangkah menuju parkiran becak. Dengan naik becak, disamping irit ongkosnya. Kalau ada gang sempit, becak masih bisa melewatinya dibandingkan taxi. Aku menunjukkan alamat saudara Melati yang pernah diberitahukan padaku beberapa waktu lalu pada abang becak. Nampaknya ia kenal betul alamat tersebut. Tawar menawar harga, dan sepakat. 
Yang aku tahu dikota ini Melati punya abang yang bekerja sebagai PNS pada salah satu intansi pemerintah kota Lhokseumawe. Alamat rumah cukup jelas, yang terpikir dalam pikiranku Melati pasti di kota ini. Aku sangat yakin.
Dengan hati yang risau aku berdiri didepan rumah yang tidak begitu mewah, namun menampakkan bahwa yang punya rumah itu seorang yang asristik. Dengan tatanan yang apik, di sana sini nampak  bunga-bunga hias yang anggun. Aku menghampiri pintu rumah yang bercat putih dengan teras yang dilapisi ubin warna hijau tua.
“Assalammualiakum,” sapaku sedikit tertekan.
“Waalaikum salam. Siapa, ya?” jawab seorang wanita dari dalam rumah.
Aku melihat wanita cantik dengan jilbab panjang membuka pintu, sambil tersenyum wanita itu mendekatiku. “Ada perlu apa, Dik!”
“Benar ini rumahnya, pak Sulaiman?”
“O...iya, saya istrinya. Ada yang bisa saya bantu?”
Aku menatap wanita di depanku. “Maaf, Melatinya ada, kak. Saya Ardi temannya dari Banda Aceh”.
Wanita yang tak lain kakak ipar Melati memandang kearahku keheranan. Sambil tersenyum, ia menjabat tanganku.”Mirna, kakak iparnya Melati, mari masuk dulu. Kamu pasti sangat capek. Susah nggak cari alamat ini”.
Aku tersenyum saja, kulihat di sekeliling dinding tergantung foto keluarga. Ada seorang pria separuh baya menggendong seorang anak kecil, kemudian seorang wanita duduk diatas kursi. Wanita itu kak Mirna, pria tersebut adalah Sulaiman, abang iparnya.
“Kalau begitu, kamu mandi dulu di belakang sebelah kiri ada kamar mandi.” Kemudian ia memanggil seseorang, “Rian ...... Rian, sini sebentar, ada tamu.”
“Ya, bu.” Seorang laki-laki yang bernama Rian menuju ke arah kami, umurnya kira-kira 15 tahun. Keponakan Melati.
“Kenalkan, paman Ardi. Temannya bunda Melati.”
Rian tersenyum sambil bersalaman. Ia tersipu, karena baru mengenalku. Dari wajahnya bisa dilihat bahwa ia sangat penurut dan patuh kepada orang tuanya.
Hari semakin panas, tapi aku heran dari tadi tidak nampak Melati. Yang dipanggil anaknya Rian, Melati kemana ya? Kalau aku menanyakan sama Rian, nggak enak. Aduh, jadi nggak enak hatiku ini. Apa dia tidak mau menjumpaiku. Ia betul-betul sedih sehingga enggan menjumpaiku. Duh..... Melati, sungguh tega dirimu. Padahal jauh-jauh aku kemari untuk menjumpainya.
Setelah siap mandi. Aku duduk di ruang tamu. Kulihat Rian sedang menulis, ia sedang mengerjakan PR-nya diatas meja tamu.
Kemudian Kak Mirna mendekat dan duduk dekat Rian. “Bagaimana khabarnya dik Ardi.” Tanyanya.
“Apa Melati sering menceritakan tentang saya?” selidikku mengharap kepastian.
“Sering sih nggak, tapi ia sangat memujamu. Bahkan ada yang istimewa lagi dari  itu”.
“Apa itu?”
Kak Mirna tersenyum, Dugaanku benar kalau Melati menceritakan semua pada kakak iparnya, juga yang melukai hatinya?
“Melati dan kamulah yang tahu, kakak yakin kamu orangnya baik, dan selalu taat beribadah. Tapi sayang, Melati saat ini tak mau di ganggu. Ia lagi di Medan sama bang Jasli, abangnya yang kedua. Tapi dik Ardi jangan khawatir, nanti kalau pulang kemari akan kakak usahakan untuk melunakkan hatinya dan mau kembali sama kamu”.
Hatiku luruh, jiwaku goncang. Aku tak menduga separah ini yang terjadi. Mungkin Melati benar-benar hatinya terluka, sehingga tak ada pintu maaf lagi untukku. Begitu sakitnya sehingga ia mencoba untuk melupakanku, melupakan masa-masa indah yang penuh kebahagiaan.

Ia memang menghindar, dan menjauh dariku. Sehingga aku tak bisa menjumpainya lagi. Apa ia ingin melupakan diriku? Melati, tertutupkah hatimu untukku? Padahal susah senang telah sama-sama kita jalani, ocehan orang kita anggap angin lalu, omongan orang kita anggap seumpama pupuk yang menjadi penyebur melati di taman hati yang terjaga dengan percikan air kebahagiaan. Taman yang dihiasi dengan aneka bunga. Sejuta warna bersama embun-embun dipagi hari. Sehingga kumbang merasa iri dan cemburu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar