3. Mensucikan Cinta

Hijau dedaunan dipuncak gunung Seulawah, yang berselimut awan putih, berbaris dan bergumpal di antara lekukan memanjang disepanjang bukit barisan.
Negeri indah damai dalam gejolak, gejolak dalam damai. Adalah paduan hidup di sebuah negeri yang kaya. Aneka ragam budaya, adat dan tatanan hidup yang islami, merupakan anugerah Allah SWT yang harus ditata, dijaga dan dipelihara serta saling butuh membutuhkan.
Kadang ini hidup adalah titipan tuhan yang harus dipertanggung jawabkan dihadapan-Nya kelak apa yang telah diperbuat. Begitu juga dalam hidupku, bersama Melati.
Bisa dikatakan, sebelum aku menjumpai Melati, hidupku lain dan sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan kehidupan Melati. Bisa dikatakan aku keturunan yang baik-baik, selalu dekat dengan agama. Dan menjadi contoh serta panutan dari orang-orang disekitarku.
Sedang Melati, bila diceritakan panjang sekali perjalanan hidupnya, sejak kedua orang tuanya yang menjadi korban sia-sia akibat konflik politik yang berkepanjangan, hingga harus memperjuangkan hidupnya dengan menjual  diri akibat persoalan ekonomi dan sosial yang seakan enggan mendekatinya.
“Saya tak bersalah, Ar. Kenapa ini harus terjadi padaku. Apa salahku”, ungkap Melati saat dia menceritakan kisah hidupnya. “Kejam sekali hidup ini, berat sekali beban yang harus aku tanggung. Tak seorangpun yang peduli. Masing-masing hanya memikirkan diri sendiri. Aku wanita, Ar. Aku tak kuasa, aku lelah, Ar. Lelah sekali”.
Yah, Melati hidup ini memang beda, seringkali perbedaan itu menjadikan patokan bagi kebanyakan orang dalam memandang hidup. Meskipun antar sesama manusia atau bahkan seiman. Tak jarang terjadi, antara satu dengan yang lain hanya menyambung tali persudaraan ketika sama-sama kaya, akan tetapi bila salah satu jatuh miskin, maka putuslah persaudaraan tersebut. 
Namun saat itu yang terpikir dalam pikiranku hanyalah kesesalan akibat sebuah peradaban. Aku tak bisa berbuat banyak, aku hanya tertarik karena Melati sangat cantik dan lugu. Naluri keimananlah yang masih kuat untuk tak terjurumus lebih lama dalam lumpur-lumpur dosa dan bisa tegar dalam menghadapi wanita malam. Sehingga keinginan untuk mengetahui kisah perjalanan Melatilah yang membuat rasa ketertarikanku padanya. Apalagi ia begitu jujur. Ia tersenyum, namun bola matanya terpancar kegetiran.
“Tak pernah ada hasrat dalam hatiku untuk melakukan pekerjaanku ini. Tak terbayang olehku akan begini jadinya” sambil meneteskan air mata Melati mengungkapkan perasaanya.
“Dulu, cita-citaku ingin menjadi seorang guru agama di desaku. Ingin mengajarkan kepada anak-anak tentang agama, tentang akhlak, budi pekerti” kemudian dia diam sejenak, sambil mengusapkan air matanya. “Ah… itu cerita dulu, Ar. Tak ada lagi harapan itu, bubar dan hancur. Sekarang aku hidup dengan begini, seperti yang kamu lihat sekarang, mungkin sampai akhir hayatku”.
Aku hanya menarik nafas dalam-dalam, dadaku sesak rasanya.
“Maaf, bukan aku menentang arah hidupmu, Mel. Aku pernah mendengar kata orang tuaku, hidup ini memang harus dicoba dengan berbagai cara, tapi harus ada hasrat dalam jiwa kita. Kita bisa berjanji dalam hati bahwa yang akan datang itu indah, kalau kita bisa memperindahnya.”
Melati tertegun, ia memandangku dengan seribu tanda tanya.
“Apa mungkin dengan keadaanku seperti ini? Saya rasa harapan ini hanya mimpi”.
“Jangan kamu kalah, Mel. Berjuang itu ibadah. Sekali kamu ada hasrat untuk merubahnya, saya berjanji akan membantumu”.
“Gila kau, Ar” Melati nampak menentang usulanku. ”Kamu ini seorang pelajar, tetapi sangat bodoh. Ini sama dengan membunuh diriku, Ar. Aku ini pelacur, tahu! Aku ini sampah, kehidupanku bertentang dengan syariat islam. Jangan kotori hidupmu, Ar. Lebih baik kau menjauh dariku, aku tak ingin orang lain mencemoohkanmu”.
“Biar…..”teriakku. “ Biar semua orang mencelaku, biarkan orang mau berkata apa sedangkan dirinya sendiri belum tentu bersih. Kamu lihat betapa orang-orang besar yang mengatakan dirinya bersih, tak ternoda tapi pekerjaannya sebagai korupsi, yang hasilnya dimakan oleh keluarganya, apakah itu tidak kotor? Kamu lihat, berapa banyak orang yang naik haji, tetapi perlakuannya sepulang dari tanah suci terkadang makin menjadi-jadi bahkan lebih parah dari sebelumnya dalam melakukan kemungkaran. Tidak Mel. Kalau kamu benar-benar bertaubat  dan tidak mengulangi perbuatanmu, Insya Allah kamu termasuk orang-orang yang beruntung.” Aku menatap wajahnya yang basah. “Melati, berikan aku kesempatan ini untuk tetap bersamamu. Marilah kita jalan bersama, membagi suka dan duka”, kataku mengharap.
“Apa kamu yakin?”
Melati kini menatapku. Matanya yang basah kian membuat hatiku semakin tertarik. Ada ketulusan disana, di bola mata yang bulat, yang ayu, yang syahdu.
Aku mengangguk. Hati ini berbunga, mengambang dan melayang bagaikan awan tertiup angin.  Lalu senja melaju menjadi malam, lingkup lenaku terbuai mimpi yang membuah kepastian.

Melati, sang wanita malam berjalan berlari dan bernyanyi dikesunyian malam. Selamat tinggal kegagalan, selamat tinggal pada semua yang telah menjadi kesesalan. Kini ada seberkas harapan untuk mulai hidup baru, yang telah menanti kehadiran sebuah hati yang sudah lama membeku, yang sudah lama hidup dalam kepasrahan. Semoga ada keampunan dan kemaafan, biar jalan ini lurus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar