Hijau dedaunan dipuncak gunung Seulawah, yang berselimut
awan putih, berbaris dan bergumpal di antara lekukan memanjang disepanjang
bukit barisan.
Negeri indah damai dalam gejolak, gejolak dalam damai.
Adalah paduan hidup di sebuah negeri yang kaya. Aneka ragam budaya, adat dan
tatanan hidup yang islami, merupakan anugerah Allah SWT yang harus ditata,
dijaga dan dipelihara serta saling butuh membutuhkan.
Kadang ini hidup adalah titipan tuhan yang harus
dipertanggung jawabkan dihadapan-Nya kelak apa yang telah diperbuat. Begitu
juga dalam hidupku, bersama Melati.
Bisa dikatakan, sebelum aku menjumpai Melati, hidupku
lain dan sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan kehidupan Melati. Bisa dikatakan aku keturunan yang
baik-baik, selalu dekat dengan agama. Dan menjadi contoh serta panutan dari
orang-orang disekitarku.
Sedang Melati, bila
diceritakan panjang sekali perjalanan hidupnya, sejak kedua orang tuanya yang
menjadi korban sia-sia akibat konflik politik yang berkepanjangan, hingga harus
memperjuangkan hidupnya dengan menjual
diri akibat persoalan ekonomi dan sosial yang seakan enggan
mendekatinya.
“Saya tak bersalah, Ar. Kenapa
ini harus terjadi padaku. Apa salahku”, ungkap Melati saat dia menceritakan
kisah hidupnya. “Kejam sekali hidup ini, berat sekali beban yang harus aku
tanggung. Tak seorangpun yang peduli. Masing-masing hanya memikirkan diri
sendiri. Aku wanita, Ar. Aku tak kuasa, aku lelah, Ar. Lelah sekali”.
Yah, Melati hidup ini memang
beda, seringkali perbedaan itu menjadikan patokan bagi kebanyakan orang dalam
memandang hidup. Meskipun antar sesama manusia atau bahkan seiman. Tak jarang
terjadi, antara satu dengan yang lain hanya menyambung tali persudaraan ketika
sama-sama kaya, akan tetapi bila salah satu jatuh miskin, maka putuslah
persaudaraan tersebut.
Namun saat itu yang terpikir
dalam pikiranku hanyalah kesesalan akibat sebuah peradaban. Aku tak bisa
berbuat banyak, aku hanya tertarik karena Melati sangat cantik dan lugu. Naluri
keimananlah yang masih kuat untuk tak terjurumus lebih lama dalam lumpur-lumpur
dosa dan bisa tegar dalam menghadapi wanita malam. Sehingga keinginan untuk
mengetahui kisah perjalanan Melatilah yang membuat rasa ketertarikanku padanya.
Apalagi ia begitu jujur. Ia tersenyum, namun bola matanya terpancar kegetiran.
“Tak pernah ada hasrat dalam
hatiku untuk melakukan pekerjaanku ini. Tak terbayang olehku akan begini
jadinya” sambil meneteskan air mata Melati mengungkapkan perasaanya.
“Dulu, cita-citaku ingin
menjadi seorang guru agama di desaku. Ingin mengajarkan kepada anak-anak
tentang agama, tentang akhlak, budi pekerti” kemudian dia diam sejenak, sambil
mengusapkan air matanya. “Ah…
itu cerita dulu, Ar. Tak ada lagi harapan itu, bubar dan hancur. Sekarang aku
hidup dengan begini, seperti yang kamu lihat sekarang, mungkin sampai akhir
hayatku”.
Aku hanya menarik nafas
dalam-dalam, dadaku sesak rasanya.
“Maaf, bukan aku menentang
arah hidupmu, Mel. Aku pernah mendengar kata orang tuaku, hidup ini memang
harus dicoba dengan berbagai cara, tapi harus ada hasrat dalam jiwa kita. Kita
bisa berjanji dalam hati bahwa yang akan datang itu indah, kalau kita bisa
memperindahnya.”
Melati tertegun, ia
memandangku dengan seribu tanda tanya.
“Apa mungkin dengan keadaanku
seperti ini? Saya rasa harapan ini hanya mimpi”.
“Jangan kamu kalah, Mel.
Berjuang itu ibadah. Sekali kamu ada hasrat untuk merubahnya, saya berjanji
akan membantumu”.
“Gila kau, Ar” Melati nampak
menentang usulanku. ”Kamu ini seorang pelajar, tetapi sangat bodoh. Ini sama
dengan membunuh diriku, Ar. Aku ini pelacur, tahu! Aku ini sampah, kehidupanku
bertentang dengan syariat islam. Jangan kotori hidupmu, Ar. Lebih baik kau
menjauh dariku, aku tak ingin orang lain mencemoohkanmu”.
“Biar…..”teriakku. “ Biar
semua orang mencelaku, biarkan orang mau berkata apa sedangkan dirinya sendiri
belum tentu bersih. Kamu lihat betapa orang-orang besar yang mengatakan dirinya
bersih, tak ternoda tapi pekerjaannya sebagai korupsi, yang hasilnya dimakan
oleh keluarganya, apakah itu tidak kotor? Kamu lihat, berapa banyak orang yang
naik haji, tetapi perlakuannya sepulang dari tanah suci terkadang makin
menjadi-jadi bahkan lebih parah dari sebelumnya dalam melakukan kemungkaran. Tidak
Mel. Kalau kamu benar-benar bertaubat dan tidak mengulangi perbuatanmu, Insya Allah
kamu termasuk orang-orang yang beruntung.” Aku menatap wajahnya yang basah.
“Melati, berikan aku kesempatan ini untuk tetap bersamamu. Marilah kita jalan bersama, membagi suka
dan duka”, kataku mengharap.
“Apa kamu yakin?”
Melati kini menatapku. Matanya
yang basah kian membuat hatiku semakin tertarik. Ada ketulusan disana, di bola
mata yang bulat, yang ayu, yang syahdu.
Aku mengangguk. Hati ini
berbunga, mengambang dan melayang bagaikan awan tertiup angin. Lalu senja melaju menjadi malam, lingkup
lenaku terbuai mimpi yang membuah kepastian.
Melati, sang wanita malam
berjalan berlari dan bernyanyi dikesunyian malam. Selamat tinggal kegagalan,
selamat tinggal pada semua yang telah menjadi kesesalan. Kini ada seberkas
harapan untuk mulai hidup baru, yang telah menanti kehadiran sebuah hati yang
sudah lama membeku, yang sudah lama hidup dalam kepasrahan. Semoga ada keampunan dan kemaafan, biar jalan ini lurus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar