Yang sangat aku sukai
kalau pulang kampung adalah saat melintasi gunung Kulu, gunung dengan istilah
lipat kain karena bagaikan lipatan kain jalan yang harus ditempuh. Seandainya
ada mobil jatuh, mobil tersebut jatuhnya pasti ke jalan yang ada dibawahnya.
Nauzubillah.
Aku pejamkan mata
sekuat-kuatnya. Bila kubuka pasti aku pusing dan muntah. Itulah penyakit kalau
sudah sampai di gunung Kulu. Dibawah sana berjajar perkebunan dan ladang para
petani setempat.
L300 ratus bagikan
berjalan dijalan lurus, liku-liku yang tidak begitu parah bagaikan mulus tak
ada apa-apanya. Kalau hadist Nabi Muhammad saw, “berikanlah sesuatu perkerjaan
pada ahlinya”. Para sopir L300 memang sangat ahli, dan mereka tahu mana lambat
dan mana daerah yang memerlukan ekstra hati-hati.
Didepanku yaitu bangku
pertama setelah sopir, duduk tiga orang cewek, jilbab besar yang menutupi
kepalanya nampak basah dengan keringat. Dari omongannya ia berasal dari
Tapaktuan Ibukota Aceh Selatan atau berasal dari Samadua, karena daerah Aceh
Selatan terkenal dengan bahasa Aneuk Jamee yang logatnya sama dengan bahasa
orang padang. Aku tidak begitu bisa mengucapkan, akan tetapi mengerti apa yang
mereka ucapkan.
Aku memberanikan diri
mencoba menegurnya, “Maaf, dek. Kalau
bisa aku tahu, kalian mau kemana?”
“Mau pulang, bang,”
jawab yang disamping jendela sebelah kanan.
“Iya, aku tahu, maksud
saya. Kampungnya dimana?”
“O.... tanya gitulah,
kampung kami di Labuhan Haji, abang sendiri kemana”
“Meukek, kampung saya di
Meukek. Pernah ke Meukek?” tanyaku lagi.
“Sering, bang. Kita kan
tetangga.”
Aku tersenyum, merekapun
tersenyum. Antara Labuhan Haji dan Meukek merupakan kecamatan yang bertetangga.
Lumayan menghilangkan rasa penat. “Kuliah dimana?” tanyaku lebih lanjut.
“Tidak kuliah bang, kami
santri di Pesantren Darussalam Labuhan Haji,” masih yang disebelah kanan yang
menjawab. Sedangkan yang duanya lagi tidak begitu tergugah untuk menjawab
pertanyaan. Aku maklum, mereka santriwati. Tidak boleh menjawab pertanyaan
seorang laki-laki yang bukan mahramnya atau merasa malu. Aku tidak melanjutkan
pertanyaan lagi, takut tersinggung. Kemudian diam, hanya semilir angin lewat
jendela kaca yang membuat sejuk sesaat.
Habis gunung Kulu,
berikutnya akan dijumpai gunung Geureutee yang terkenal pemandangan lautnya
yang indah. Jalannya diatas gunung batu yang dibawahnya terbentang laut yang
luas. Indahnya karena ditengah-tengah laut ada dua pulau kecil bagaikan permata
ditengah laut. Ditengah-tengah gunung Geureutee telah dibangun sebuah tempat
wisata, sebelum konflik banyak yang menjadi tempat tersebut salah satu tujuan
wisata. Akan tetapi sejak konflik tempat tersebut dijadikan pos pengamanan
TNI.
Akhirnya aku lelah,
mataku nampaknya tidak sanggup lagi menahan kantuk. Sambil bersandar aku
mencoba bermimpi, siapa tahu berjumpa dengan Melati.
Menjelang Magrib aku
tiba di desaku, kala orang sedang menjalankan ibadah shalat di sebuah mesjid At
Taqwa tepatnya ditangah-tengah desa. Aku turun dari dalam bus L300 dikala
orang-orangku datang menjemputku. Kulihat Ayah tersenyum, senyum kebahagiaan
bisa berkumpul bersama keluarga tercinta. Mama mencium keningku, lalu dipeluk
erat tubuhku.
“Alhamdulillah, akhirnya
kamu pulang dengan selamat, nak. Keadaan begini mama khawatir sekali. Kami
semua mendoakan mu, nak.”
Memang situasi yang
tidak menentu seperti saat ini sangat was-was bila dalam perjalanan terjadi
kontak senjata. Akan tetapi aku tak pernah terpikir kesitu, yang aku pikirkan
cepat-cepat sampai dirumah. Kekhawatiran orang tua kepada anaknya, apalagi anak
laki-laki sangat mendasar.
Seperti cerita Sofyan
saat kembali dari kampung, sesampainya disebuah pos yang terletak di kawasan
Teunom semua penumpang bus yang laki-laki turun dan berbaris, periksa KTP.
Kemudian disuruh jongkok. Kemudian ada aba-aba dari salah seorang anggota,
bahwa siapa yang bisa menyanyikan Lagu Indonesia Raya naik ke dalam bus.
Memang sangat
mendebarkan, tapi aku tak terpikir kesitu, mungkin karena dengan doa orang tua,
semua berjalan apa adanya. Dan Alhamdulillah sampai dengan selamat.
Setelah shalat Magrib,
aku menjumpai Kak Mira yang tangannya sudah dihiasi inai sehingga seluruh
jemarinya berwarna merah. Juga telapak kaki. Kecantikannya semakin bercahaya.
“Ini titip dari Jabir, kawan sekantorku, dan salam darinya.”
“Waalaikumsalam,” jawab
Kak Mira sambil tersenyum.
“Kakak kalau begini
semakin cantik aja.”
“Ah, kamu ini ada-ada
saja. Ardi, bagaimana khabarnya Melati?”
Aku terdiam, dadaku
terasa sesak. Aku harus bilang apa. Apa aku akan melemparkan kesalahan kepada
mama. Gara-gara mama, Melati dari dari kehidupanku. “Entahlah kak” jawabku
pelan.
Kak Mira merasa heran,
ia menatapku, “Ada apa dengan Melati, ceritakan sama saya, Ardi. Atau jangan-jangan ia sakit hati sama mama.
Maafkan kakak Ardi, kakak tidak bisa mencegah saat mama menemui Melati.”
Aku tertunduk sedih.
“Apa yang mama katakan
saat menjumpai Melati.” tanyaku
“Mama hanya menyampaikan
pengertian saja sama Melati, kamu tahukan sifat mama? Kalau bicara sama orang
lain penuh dengan lemah lembut. Tidak pernah membentak, apalagi mencaci makinya.
Tapi mama sudah merestuinyakan?”
“Terlambat, kak!”
“Maksudmu?”
Kutarik nafas
dalam-dalam. Kupandang langit-langit rumahku. Tak kuasa aku menahan perasaan
yang kian bergolak, menghadapi kepiluan hati yang kian merana. Bunga yang dulu
bersemi kini layu terkulai lemas, tak ada lagi yang menyiraminya.
“Dia sudah pergi, kak!
Tak ada kabar lagi, aku tak tahu dimana dia sekarang. Ia benar-benar tak
sanggup menanggung beban hidup ini. Padahal aku telah membujuknya dan dia sudah
bertaubat. Harapan hidupnya hanya aku, Kak. Akulah orang yang paling dia
cintai. Dan akulah orang paling mengerti tentang kehidupannya.”
Kini air mataku
benar-benar tumpah. Aku tak pernah menangis dalam kenyataan walau sering aku
menangis dengan perasaan. Kak Mirapun tak tahan apa yang aku rasakan, apa lagi
seorang wanita yang sangat peka dengan perasaan orang lain yang mengalami
masalah perasaan.
“Semuanya ada hikmahnya,
Ar. Kita tidak tahu apa dibalik itu semua. Kita serahkan semua kepada Yang
Kuasa agar ada jalan keluarnya.”
Kini mendung benar-benar
hujan. Yang selama ini hanya berselimut awan hitam kelam akhirnya tercurah
hingga membasahi bumi. Membanjiri disetiap relung hatiku.
Malam terus bergulir
sesuai arah yang telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Disetiap detik
perubahan terus melumpuri sisi kehidupan. Sesaat demi sesaat kian mendekat,
dekatnya manusia dengan apa yang telah digariskan-Nya. Langkah, Rizki,
Pertemuan dan Maut semua sudah diatur sesuai dengan jadwalnya. Manusia cuma
menjalaninya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar