9. Kini Mendung Benar-Benar Hujan



Yang sangat aku sukai kalau pulang kampung adalah saat melintasi gunung Kulu, gunung dengan istilah lipat kain karena bagaikan lipatan kain jalan yang harus ditempuh. Seandainya ada mobil jatuh, mobil tersebut jatuhnya pasti ke jalan yang ada dibawahnya. Nauzubillah.
Aku pejamkan mata sekuat-kuatnya. Bila kubuka pasti aku pusing dan muntah. Itulah penyakit kalau sudah sampai di gunung Kulu. Dibawah sana berjajar perkebunan dan ladang para petani setempat.
L300 ratus bagikan berjalan dijalan lurus, liku-liku yang tidak begitu parah bagaikan mulus tak ada apa-apanya. Kalau hadist Nabi Muhammad saw, “berikanlah sesuatu perkerjaan pada ahlinya”. Para sopir L300 memang sangat ahli, dan mereka tahu mana lambat dan mana daerah yang memerlukan ekstra hati-hati.
Didepanku yaitu bangku pertama setelah sopir, duduk tiga orang cewek, jilbab besar yang menutupi kepalanya nampak basah dengan keringat. Dari omongannya ia berasal dari Tapaktuan Ibukota Aceh Selatan atau berasal dari Samadua, karena daerah Aceh Selatan terkenal dengan bahasa Aneuk Jamee yang logatnya sama dengan bahasa orang padang. Aku tidak begitu bisa mengucapkan, akan tetapi mengerti apa yang mereka ucapkan.
Aku memberanikan diri mencoba menegurnya, “Maaf, dek. Kalau  bisa aku tahu, kalian mau kemana?”
“Mau pulang, bang,” jawab yang disamping jendela sebelah kanan.
“Iya, aku tahu, maksud saya. Kampungnya dimana?”
“O.... tanya gitulah, kampung kami di Labuhan Haji, abang sendiri kemana”
“Meukek, kampung saya di Meukek. Pernah ke Meukek?” tanyaku lagi.
“Sering, bang. Kita kan tetangga.”
Aku tersenyum, merekapun tersenyum. Antara Labuhan Haji dan Meukek merupakan kecamatan yang bertetangga. Lumayan menghilangkan rasa penat. “Kuliah dimana?” tanyaku lebih lanjut.
“Tidak kuliah bang, kami santri di Pesantren Darussalam Labuhan Haji,” masih yang disebelah kanan yang menjawab. Sedangkan yang duanya lagi tidak begitu tergugah untuk menjawab pertanyaan. Aku maklum, mereka santriwati. Tidak boleh menjawab pertanyaan seorang laki-laki yang bukan mahramnya atau merasa malu. Aku tidak melanjutkan pertanyaan lagi, takut tersinggung. Kemudian diam, hanya semilir angin lewat jendela kaca yang membuat sejuk sesaat.
Habis gunung Kulu, berikutnya akan dijumpai gunung Geureutee yang terkenal pemandangan lautnya yang indah. Jalannya diatas gunung batu yang dibawahnya terbentang laut yang luas. Indahnya karena ditengah-tengah laut ada dua pulau kecil bagaikan permata ditengah laut. Ditengah-tengah gunung Geureutee telah dibangun sebuah tempat wisata, sebelum konflik banyak yang menjadi tempat tersebut salah satu tujuan wisata. Akan tetapi sejak konflik tempat tersebut dijadikan pos pengamanan TNI. 
Akhirnya aku lelah, mataku nampaknya tidak sanggup lagi menahan kantuk. Sambil bersandar aku mencoba bermimpi, siapa tahu berjumpa dengan Melati.
Menjelang Magrib aku tiba di desaku, kala orang sedang menjalankan ibadah shalat di sebuah mesjid At Taqwa tepatnya ditangah-tengah desa. Aku turun dari dalam bus L300 dikala orang-orangku datang menjemputku. Kulihat Ayah tersenyum, senyum kebahagiaan bisa berkumpul bersama keluarga tercinta. Mama mencium keningku, lalu dipeluk erat tubuhku.
“Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang dengan selamat, nak. Keadaan begini mama khawatir sekali. Kami semua mendoakan mu, nak.”
Memang situasi yang tidak menentu seperti saat ini sangat was-was bila dalam perjalanan terjadi kontak senjata. Akan tetapi aku tak pernah terpikir kesitu, yang aku pikirkan cepat-cepat sampai dirumah. Kekhawatiran orang tua kepada anaknya, apalagi anak laki-laki sangat mendasar.
Seperti cerita Sofyan saat kembali dari kampung, sesampainya disebuah pos yang terletak di kawasan Teunom semua penumpang bus yang laki-laki turun dan berbaris, periksa KTP. Kemudian disuruh jongkok. Kemudian ada aba-aba dari salah seorang anggota, bahwa siapa yang bisa menyanyikan Lagu Indonesia Raya naik ke dalam bus.
Memang sangat mendebarkan, tapi aku tak terpikir kesitu, mungkin karena dengan doa orang tua, semua berjalan apa adanya. Dan Alhamdulillah sampai dengan selamat.
Setelah shalat Magrib, aku menjumpai Kak Mira yang tangannya sudah dihiasi inai sehingga seluruh jemarinya berwarna merah. Juga telapak kaki. Kecantikannya semakin bercahaya. “Ini titip dari Jabir, kawan sekantorku, dan salam darinya.”
“Waalaikumsalam,” jawab Kak Mira sambil tersenyum.
“Kakak kalau begini semakin cantik aja.”
“Ah, kamu ini ada-ada saja. Ardi, bagaimana khabarnya Melati?”
Aku terdiam, dadaku terasa sesak. Aku harus bilang apa. Apa aku akan melemparkan kesalahan kepada mama. Gara-gara mama, Melati dari dari kehidupanku. “Entahlah kak” jawabku pelan.
Kak Mira merasa heran, ia menatapku, “Ada apa dengan Melati, ceritakan sama saya, Ardi.  Atau jangan-jangan ia sakit hati sama mama. Maafkan kakak Ardi, kakak tidak bisa mencegah saat mama menemui Melati.”
Aku tertunduk sedih.
“Apa yang mama katakan saat menjumpai Melati.” tanyaku
“Mama hanya menyampaikan pengertian saja sama Melati, kamu tahukan sifat mama? Kalau bicara sama orang lain penuh dengan lemah lembut. Tidak pernah membentak, apalagi mencaci makinya. Tapi mama sudah merestuinyakan?”
“Terlambat, kak!”
“Maksudmu?”
Kutarik nafas dalam-dalam. Kupandang langit-langit rumahku. Tak kuasa aku menahan perasaan yang kian bergolak, menghadapi kepiluan hati yang kian merana. Bunga yang dulu bersemi kini layu terkulai lemas, tak ada lagi yang menyiraminya.
“Dia sudah pergi, kak! Tak ada kabar lagi, aku tak tahu dimana dia sekarang. Ia benar-benar tak sanggup menanggung beban hidup ini. Padahal aku telah membujuknya dan dia sudah bertaubat. Harapan hidupnya hanya aku, Kak. Akulah orang yang paling dia cintai. Dan akulah orang paling mengerti tentang kehidupannya.”
Kini air mataku benar-benar tumpah. Aku tak pernah menangis dalam kenyataan walau sering aku menangis dengan perasaan. Kak Mirapun tak tahan apa yang aku rasakan, apa lagi seorang wanita yang sangat peka dengan perasaan orang lain yang mengalami masalah perasaan.
“Semuanya ada hikmahnya, Ar. Kita tidak tahu apa dibalik itu semua. Kita serahkan semua kepada Yang Kuasa agar ada jalan keluarnya.”
Kini mendung benar-benar hujan. Yang selama ini hanya berselimut awan hitam kelam akhirnya tercurah hingga membasahi bumi. Membanjiri disetiap relung hatiku.
Malam terus bergulir sesuai arah yang telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Disetiap detik perubahan terus melumpuri sisi kehidupan. Sesaat demi sesaat kian mendekat, dekatnya manusia dengan apa yang telah digariskan-Nya. Langkah, Rizki, Pertemuan dan Maut semua sudah diatur sesuai dengan jadwalnya. Manusia cuma menjalaninya saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar