Senja merayap, namun enggan
rasanya kaki ini melangkah. Trotoar disepanjang jalan Teungku Daud Beureu eh,
seakan menjadi panjang tak terbatas. Pikiranku kosong, pikiranku kacau. Melati,
kenapa kau ini sayang? Kenapa teganya kau meninggalkan aku sendiri disini, di kota
ini. Pada hal kita sudah saling berjanji untuk tetap melangkah walau rintangan
menghalangi perjalanan cinta ini. Mama belum bisa mengerti apa yang aku lakukan
terhadap Melati untuk membimbing ke jalan yang benar. Padahal prilaku tertinggi
yang diingatkan Allah kepada manusia beriman, terkandung makna kesabaran,
kepasrahan, dan penerimaan yang mungkin seseorang semakin dekat kepada-Nya.
Langkah terhenti di depan
pintu rumah. Agak terkejut, kulihat lampu rumah sudah pada nyala, padahal
seingatku lampu rumah tak satupun yang nyala. Siapa ya?
“Assalammualaikum”, ucapku
pasti.
“Waalaikumsalam”, jawaban
seseorang yang tak asing lagi bagiku, mama.
“Mama, kapan tibanya, ma,”
tanyaku lemas sambil mencium tangannya, lalu kedua pipinya.
“Udah satu jam yang lalu, sama
kakakmu”.
“O... kak Mira, Kok
kedatangannya nggak dikhabari Ardi, ma”.
“Memang mama sengaja datang
dadakan gini. Mama tahu, kamu
masih saja mengikuti wanita murahan itukan?”
Aku duduk didepan, mama.
Kulihat Kak Mira sedang didapur menyiapkan air minum untukku. Aku tak berani memandang wajah mama.
Keadaan sungguh panas dan genting.
Aku menarik nafas dalam-dalam.
Rupanya benar dugaanku, mama mendatangi Melati. Kasihan dia, gara-gara diriku dia telah menekan
perasaan sendiri.
“Ma…! Mama menemui Melati?”, aku mencoba memastikan
keinginan mama.
“Iya, memangnya kenapa! Kamu
ini, kayak nggak ada wanita lain. Kamu tahu, saya ini malu sama orang-orang.
Anak seorang ulama bisa jatuh cinta sama seorang pelacur, mau dikemanain muka
ini”.
Mamaku nampak marah sekali.
Memang, seorang ibu menghendaki anaknya hidup dengan orang-orang yang wajar.
Tapi, Melati juga wanita yang baik-baik, cuma dulu saja jalannya tak terarah.
Tak ada yang menuntunnya, tak ada siapapun yang menjadi pengayom dalam kehidupan
ini, sehingga jalannya menanjak dan penuh onak.
“Tapi, ma. Melatikan hamba
Allah juga. Dia seorang wanita yang ingin dicintai dan juga bisa mencintai
orang lain. Tapi mama kok menilai dari pekerjaannya secara lahiriah, padahal
saya sudah membimbingnya kearah yang benar dan sudah tahu apa yang ia kerjakan
selama ini salah! Tolong ma,
Jangan salahkan dia. Ini semua dia lakukan karena keadaan, ma”, aku mencoba
menghiba. Walau malam semakin dingin, namun keadaan tetap terasa panas. Kakakku
tampak membisu, ia tahu perasaanku tentang Melati. Aku sudah berkali-kali
menyakinkan dia tentang hubungan kami sehingga apa yang aku lakukan terhadap
Melati mendapat angin segar.
Raut wajah mama menjadi
tegang, aku tahu mama marah sekali. Harapannya, sebagai putera satu-satunya
dalam keluarga kami sangat digantungkan padaku.
Agama mengatakan, bila
menentang kehendak orang tua adalah dosa besar. Tapi, menarik orang dari
lumpur-lumpur dosa dan menjadikan orang tersebut sebagai bagian hidup, juga
sebagian dari iman. Dan aku merasa bahwa Allah pasti meridhainya.
“Pokoknya, hubunganmu dengan Melati harus
berakhir mulai detik ini. Atau
kamu bukan anak mama lagi.”
Aku tersentak, terasa ribuan
watt listrik mengalir ketubuhku. Raga ini terasa mau lepas, mata terasa
berkunang-kunang. Bumi ini berputar berlawanan arah sehingga aku sempoyongan,
dan gelap.
Beberapa saat kemudian aku
melihat Melati sedang menaiki sebuah jembatan yang terbuat dari seutas kabel melintasi
sebuah sungai dibawahnya. Ia melangkah sendiri, dengan memegang seutas tali
kabel untuk menyeberang. Di kepalanya terdapat sebuah bakul yang isinya nasi
yang telah dibungkus. Ia menuju kearahku, sudah mencapai ditengah-tengah
sungai, tiba-tiba ada seorang wanita dari ujung seberang menaiki jembatan itu
sebut. Aku merasa wanita itu mamaku sendiri. Ia mencoba mengejar Melati sambil
mengoyang-goyangkan jembatan tersebut.
”Melati, tolong Melati,
jangan..... jangan bunuh dia.” aku coba berteriak minta tolong. ”Melati,
Melati.......Tolong jangan sakiti dia.”
”Ardi, Ardi, hei Ardi.”
Aku tersentak, oh...... aku lihat Kak Mira sedang menatapku.
Rupanya aku tak sadarkan diri, tapi aku kok berjumpa dengan Melati. Kepalaku
masih pusing.
Aku memaksa diri untuk
bangkit. Kak Mira mengompres kepalaku dengan semangkok air ditangannya.
”Mama mana, kak,” sambil
memegang kepala, aku mencoba bangkit dari rangjangku.
”Lagi shalat, beliau nampaknya
menyesal telah membuat kamu pingsan. Tapi kakak pesan, jangan diambil hati.
Seorang ibu, menginginkan anaknya agar menentukan jalan hidup sesuai dengan
keinginannya. Hanya emosi saja yang membuat mama berkata demikian. Kata kata
yang seharusnya tidak boleh dikeluarkan oleh seorang ibu, yang telah melahir
dan membesarkan kita.”
”Aku harus minta maaf pada
beliau” jawabku mencoba menenangkan diri. ”Mungkin mama benar, aku telah
mengecawakannya. Harapan seorang mama adalah agar aku mau menuruti
keinginannya. Mama benar aku sudah salah langkah.”
Dengan langkah sempoyongan aku
melangkah keluar kamar tidurku. Aku melihat mama sedang beristigfar, ia sudah
selesai menunaikan shalat. Kutundukkan kepalaku dan bersimpuh dipangkuannya.
”Ma, maafkan anakmu yang
durhaka ini. Aku telah melukai hatimu, aku tidak mengindahkan apa yang mama
utarakan kepadaku. Mama benar, mulai saat ini aku akan melupakan Melati. Demi
mama, demi kita semua” aku menangis sejadi-jadinya. Mama membelai rambutkan,
isak tangisnya menusuk kalbu. Isakan yang meluluhkan teguhnya karang dilautan
luas.
”Mama juga minta maaf, nak.
Mama tidak bermaksud menghukummu anakku. Mama khilaf, bahwa hidup ini sudah ada
yang mengaturnya. Siang dan malam, hujan badai serta ada siang dan malam atas
kehendak Yang Kuasa. Begitu juga dengan kalian, mungkin ini jalan yang harus
kita terima. Mama merelakan, nak. Mama merelakannya.”
Aku masih bersimpuh, berharap
selaksa ampunan dan harapan. Doa ibu tidak ada hijab. Karena doanya hidup ini
indah, dengan doanya seseorang berhasil. Dan dengan doanya akan ditempatkan ke
dalam syurga jannatunnain. Tempat yang terindah diantaranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar