5. Cinta Tertekan Orang Tua

Senja merayap, namun enggan rasanya kaki ini melangkah. Trotoar disepanjang jalan Teungku Daud Beureu eh, seakan menjadi panjang tak terbatas. Pikiranku kosong, pikiranku kacau. Melati, kenapa kau ini sayang? Kenapa teganya kau meninggalkan aku sendiri disini, di kota ini. Pada hal kita sudah saling berjanji untuk tetap melangkah walau rintangan menghalangi perjalanan cinta ini. Mama belum bisa mengerti apa yang aku lakukan terhadap Melati untuk membimbing ke jalan yang benar. Padahal prilaku tertinggi yang diingatkan Allah kepada manusia beriman, terkandung makna kesabaran, kepasrahan, dan penerimaan yang mungkin seseorang semakin dekat kepada-Nya.
Langkah terhenti di depan pintu rumah. Agak terkejut, kulihat lampu rumah sudah pada nyala, padahal seingatku lampu rumah tak satupun yang nyala. Siapa ya?
“Assalammualaikum”, ucapku pasti.
“Waalaikumsalam”, jawaban seseorang yang tak asing lagi bagiku, mama.
“Mama, kapan tibanya, ma,” tanyaku lemas sambil mencium tangannya, lalu kedua pipinya.
“Udah satu jam yang lalu, sama kakakmu”.
“O... kak Mira, Kok kedatangannya nggak dikhabari Ardi, ma”.
“Memang mama sengaja datang dadakan gini. Mama tahu, kamu masih saja mengikuti wanita murahan itukan?”
Aku duduk didepan, mama. Kulihat Kak Mira sedang didapur menyiapkan air minum untukku. Aku tak berani memandang wajah mama. Keadaan sungguh panas dan genting.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Rupanya benar dugaanku, mama mendatangi Melati. Kasihan dia, gara-gara diriku dia telah menekan perasaan sendiri.
“Ma…! Mama menemui Melati?”, aku mencoba memastikan keinginan mama.
“Iya, memangnya kenapa! Kamu ini, kayak nggak ada wanita lain. Kamu tahu, saya ini malu sama orang-orang. Anak seorang ulama bisa jatuh cinta sama seorang pelacur, mau dikemanain muka ini”.
Mamaku nampak marah sekali. Memang, seorang ibu menghendaki anaknya hidup dengan orang-orang yang wajar. Tapi, Melati juga wanita yang baik-baik, cuma dulu saja jalannya tak terarah. Tak ada yang menuntunnya, tak ada siapapun yang menjadi pengayom dalam kehidupan ini, sehingga jalannya menanjak dan penuh onak.
“Tapi, ma. Melatikan hamba Allah juga. Dia seorang wanita yang ingin dicintai dan juga bisa mencintai orang lain. Tapi mama kok menilai dari pekerjaannya secara lahiriah, padahal saya sudah membimbingnya kearah yang benar dan sudah tahu apa yang ia kerjakan selama ini salah! Tolong ma, Jangan salahkan dia. Ini semua dia lakukan karena keadaan, ma”, aku mencoba menghiba. Walau malam semakin dingin, namun keadaan tetap terasa panas. Kakakku tampak membisu, ia tahu perasaanku tentang Melati. Aku sudah berkali-kali menyakinkan dia tentang hubungan kami sehingga apa yang aku lakukan terhadap Melati mendapat angin segar.
Raut wajah mama menjadi tegang, aku tahu mama marah sekali. Harapannya, sebagai putera satu-satunya dalam keluarga kami sangat digantungkan padaku.
Agama mengatakan, bila menentang kehendak orang tua adalah dosa besar. Tapi, menarik orang dari lumpur-lumpur dosa dan menjadikan orang tersebut sebagai bagian hidup, juga sebagian dari iman. Dan aku merasa bahwa Allah pasti meridhainya.
 “Pokoknya, hubunganmu dengan Melati harus berakhir mulai detik ini. Atau kamu bukan anak mama lagi.”
Aku tersentak, terasa ribuan watt listrik mengalir ketubuhku. Raga ini terasa mau lepas, mata terasa berkunang-kunang. Bumi ini berputar berlawanan arah sehingga aku sempoyongan, dan gelap.
Beberapa saat kemudian aku melihat Melati sedang menaiki sebuah jembatan yang terbuat dari seutas kabel melintasi sebuah sungai dibawahnya. Ia melangkah sendiri, dengan memegang seutas tali kabel untuk menyeberang. Di kepalanya terdapat sebuah bakul yang isinya nasi yang telah dibungkus. Ia menuju kearahku, sudah mencapai ditengah-tengah sungai, tiba-tiba ada seorang wanita dari ujung seberang menaiki jembatan itu sebut. Aku merasa wanita itu mamaku sendiri. Ia mencoba mengejar Melati sambil mengoyang-goyangkan jembatan tersebut.
”Melati, tolong Melati, jangan..... jangan bunuh dia.” aku coba berteriak minta tolong. ”Melati, Melati.......Tolong jangan sakiti dia.”
”Ardi, Ardi, hei Ardi.”
Aku tersentak, oh...... aku lihat Kak Mira sedang menatapku. Rupanya aku tak sadarkan diri, tapi aku kok berjumpa dengan Melati. Kepalaku masih pusing.
Aku memaksa diri untuk bangkit. Kak Mira mengompres kepalaku dengan semangkok air ditangannya.
”Mama mana, kak,” sambil memegang kepala, aku mencoba bangkit dari rangjangku.
”Lagi shalat, beliau nampaknya menyesal telah membuat kamu pingsan. Tapi kakak pesan, jangan diambil hati. Seorang ibu, menginginkan anaknya agar menentukan jalan hidup sesuai dengan keinginannya. Hanya emosi saja yang membuat mama berkata demikian. Kata kata yang seharusnya tidak boleh dikeluarkan oleh seorang ibu, yang telah melahir dan membesarkan kita.”
”Aku harus minta maaf pada beliau” jawabku mencoba menenangkan diri. ”Mungkin mama benar, aku telah mengecawakannya. Harapan seorang mama adalah agar aku mau menuruti keinginannya. Mama benar aku sudah salah langkah.”
Dengan langkah sempoyongan aku melangkah keluar kamar tidurku. Aku melihat mama sedang beristigfar, ia sudah selesai menunaikan shalat. Kutundukkan kepalaku dan bersimpuh dipangkuannya.
”Ma, maafkan anakmu yang durhaka ini. Aku telah melukai hatimu, aku tidak mengindahkan apa yang mama utarakan kepadaku. Mama benar, mulai saat ini aku akan melupakan Melati. Demi mama, demi kita semua” aku menangis sejadi-jadinya. Mama membelai rambutkan, isak tangisnya menusuk kalbu. Isakan yang meluluhkan teguhnya karang dilautan luas.
”Mama juga minta maaf, nak. Mama tidak bermaksud menghukummu anakku. Mama khilaf, bahwa hidup ini sudah ada yang mengaturnya. Siang dan malam, hujan badai serta ada siang dan malam atas kehendak Yang Kuasa. Begitu juga dengan kalian, mungkin ini jalan yang harus kita terima. Mama merelakan, nak. Mama merelakannya.”

Aku masih bersimpuh, berharap selaksa ampunan dan harapan. Doa ibu tidak ada hijab. Karena doanya hidup ini indah, dengan doanya seseorang berhasil. Dan dengan doanya akan ditempatkan ke dalam syurga jannatunnain. Tempat yang terindah diantaranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar