4. Ketika Cinta Tersandung

Dikala malam sunyi, aku duduk sendiri merenung dan berpikir tentang apa yang telah aku lakukan pada seorang anak manusia. Yang telah membuat hatiku terpaut padanya, dikala aku memberikan harapan padanya. Bagaikan lingkaran – lingkaran syetan yang mengikat langkah dan membelenggu hidupku. Ada yang memberikan harapan apa yang aku lakukan adalah sangat manusiawi, ada yang memberi semangat supaya terus melangkah ke arah jatuhnya sinar kebahagiaan. Tapi banyak juga yang mengatakan bahwa apa yang aku lakukan adalah sebuah fatamorgana dan merupakan langkah sia-sia yang akan menjerumus hidupku kearah yang nista. Yang sangat keras menentang langkahku ada orang tua tercintai. Beliau langsung melabrak habis-habisan. Yang aku takutkan adalah Melati merasa tidak diterima kehadirannya, walau dia sudah bertaubat namun masih ada sisi-sisi lain yang menurut penilaian orang kurang dihargai.
Siang itu aku memasuki pelataran restoran, aku merasa heran. Tak seperti biasanya, kalau aku datang Melati dengan lugunya menyambut kedatanganku. Dia tak peduli walau banyak tamu lain yang memandang tingkahnya menggemaskan. Apalagi sang bos, begitu aku datang lalu memandang ke arah Melati, dengan kode tertentu sang bos menyuruh Melati menanti kehadiranku. Sang bos tahu, bahwa restorannya sudah menjadi bagian kegiatan kantoran dimana aku bekerja. Ia mendukung upaya yang telah aku lakukan terhadap jalan hidup Melati. Seking mendukungnya, dia dijanjikan bahwa kelak seandainya aku dan Melati menikah, hadiahnya seuntai kalung emas yang indah buat kami.
Aneh! Pikirku. Ada apa dengan Melati? kok nggak muncul-muncul. Dengan pikiran kacau dan hati yang gundah aku mencari kawan akrabnya, Melli.
Tampaknya Melli lagi menunggu kedatanganku, ia menyuruhkan membuka sebuah amplop.
“Ini titipan, Melati. Tak ada ungkapan lain”, kata Melli singkat.
“Ada apa, ya?”.
“Aku sendiri juga nggak mengerti, kok Melati bisa begitu. Ada apa dengan kalian?” tanyanya heran.
Aku menatap Melli. Penuh dengan sejuta pertanyaan.
“Aku rasa biasa-biasa saja, berjalan apa adanya. Seperti dulu, saling mencintai, terbuka”.
Hatiku galau, perasaan kacau dan pikiranku jadi kalut. Yang terbayang hanyalah mamaku. Beliau menentang habis-habisan hubunganku dengan Melati. Jadi, kok nggak tahu kalau mama ke Banda Aceh. Apa  iya beliau ke sini?
Aku membaca isi surat titipan Melati. Semuanya, tak tersisa. Hingga tak terasa air mataku jatuh berlinang dan membasahi kertas putih ditanganku. Seakan tak percaya apa yang diutarakan dalam suratnya, berulang-ulang aku membacanya.
“Aku sudah berusaha semampuku” itu kata-kata yang sangat menyentuh bathinku. “Berbulan-bulan lamanya aku menyimpan perasaan ini, agar hubungan kita bisa berjalan dengan semestinya. Cinta memang tak memandang siapa-siapa, namun cinta bisa menentang siapa-siapa. Kamu anak orang baik-baik, berpendidikan dan saleh. Ardi, mamamu benar, wanita yang bisa mendampingimu bukan wanita seperti aku. Aku lebih baik menjauh dari kota ini dan berjalan sendiri membawa perasaan cinta kita berdua. Aku sangat berterima kasih padamu. Karena kamu, aku ini sudah mendapat hidayah dari Allah SWT, karena kamu, aku sudah mendapat jati diriku lagi. Jangan khawatir, Ar. Aku bisa menjaga amanah yang selama ini kamu siram ke kalbuku”.
Tidak!  Ini tidak bisa terjadi begitu saja, aku akan mencarinya, harus. Aku akan menyusulnya, aku akan mengembalikan dirinya padaku. Duh mama, kenapa ini mama lakukan! Apa salah dia, ma. Bukankah dia sudah bertaubat? Dia sudah suci, ma. Dia bukan wanita malam lagi, dia sudah insyaf. Oh! Tuhan, dimana dia sekarang?
Mama sudah berulang kali mengingatku agar jangan mendekati Melati dengan alasan tidak jelas asal usulnya. Siapa keluarganya, dan bagaimana dengan pekerjaannya. Yang sangat terpukul, mama berharap agar hubunganku dengan Melati sangat diharamkan oleh agama, oleh orang-orang yang selama ini banyak berguru padanya, pada orang tuaku. Lebih pedih lagi aku disenyalir bermain dengan pelacur. Sehingga orang-orang dikampungku banyak yang menganggap bahwa selama aku di Banda Aceh, sudah jauh dari ajaran islam, bahkan telah melupakan bahwa aku ini anak seorang teungku (Kyai).
Aku menjumpai Jabir. Biasanya dia tahu dimana Melati pergi. Kalau aku bertugas ke luar daerah, Jabirlah tempat ia menanyakan bagaimana keadaanku. Karena Jabir orang yang paling tahu atas hubungan kami berdua.
”Apa?!” jawab Jabir seakan tak percaya setelah membaca surat yang ditulis Melati. ”Sebenar ini tidak perlu terjadi jikalau dipandang dari segi positifnya. Karena Melati sudah taubat. Terkadang jalan pikiran kita tidak sama. Ini membutuhkan waktu untuk menjelaskan semua. Walaupun demikian belum tentu juga semua pihak menerima kenyataan ini. Terlebih Melati seorang yang telah terlanjur dianggap sampah masyarakat.”
Aku terdiam seribu bahasa. Sesak rasanya hati ini. Ya, Allah..... salahkah diriku ini, berdosakah diriku. Bukakanlah pintu hati mereka agar percaya bahwa Melati sudah taubat. Engkau Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Jalannya masih panjang, hidupnya masih labil. Aku takut ia akan kembali kejalan yang berlumpur dosa.
”Aku akan mencarinya. Aku harus mendapatkannya kembali.”
”Tapi kemana? Bukankan disini hanya sendiri, sedangkan saudara yang ada cuma di Lhokseumawe.”
Aku kaget saat Jabir kalau saudaranya ada di Lhokseumawe. Aku teringat apa yang dikatakan Melati bahwa salah seorang abangnya ada yang bekerja di Pemko Lhokseumawe. Ia pernah mengajak aku menjampai abangnya, akan tetapi kesempatan itu belum kesampaian.
”Ar...! Bagaimana kalau kamu saya perkenalkan sama abang saya. Katanya ingin sekali menjumpaimu.” ajaknya suatu masa.
 ”Insya Allah! Tapi untuk sekarang ini aku lagi sibuk. Mudah-mudahan kita cari kesempatan lain, ya? Tapi kalau boleh aku tahu siapa namanya abangmu, mana tahu mungkin aku kenal”
”Namanya Sulaiman, ia bekerja di Kantor di Lhoseumawe, tapi aku tidak tahu kantor apa. Kalau alamatnya, jalan Cunda lorong semanggi no. 26. Kelurahan Cunda Lhoseumawe. Tidak jauh dari terminal Cunda.”

Ya.... aku akan kesana, siapa tahu dia pulang ke rumah abangnya. Melati, tak ada malammu lagi. Disini hati teriris pedih, berduka bersama alunan debu-debu jalanan. Langkah linglung, bagai riak tak bertepi. Bunga sedap malam itu, bunga penghias jendelamu menunggu belaian tanganmu, kini tertunduk lemas lunglai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar