Dikala malam sunyi, aku duduk sendiri merenung dan
berpikir tentang apa yang telah aku lakukan pada seorang anak manusia. Yang
telah membuat hatiku terpaut padanya, dikala aku memberikan harapan padanya. Bagaikan lingkaran – lingkaran syetan yang
mengikat langkah dan membelenggu hidupku. Ada yang memberikan harapan apa yang
aku lakukan adalah sangat manusiawi, ada yang memberi semangat supaya terus
melangkah ke arah jatuhnya sinar kebahagiaan. Tapi banyak juga yang mengatakan
bahwa apa yang aku lakukan adalah sebuah fatamorgana dan merupakan langkah
sia-sia yang akan menjerumus hidupku kearah yang nista. Yang sangat keras
menentang langkahku ada orang tua tercintai. Beliau langsung melabrak
habis-habisan. Yang aku takutkan adalah Melati merasa tidak diterima
kehadirannya, walau dia sudah bertaubat namun masih ada sisi-sisi lain yang
menurut penilaian orang kurang dihargai.
Siang itu aku memasuki
pelataran restoran, aku merasa heran. Tak seperti biasanya, kalau aku datang
Melati dengan lugunya menyambut kedatanganku. Dia tak peduli walau banyak tamu
lain yang memandang tingkahnya menggemaskan. Apalagi sang bos, begitu aku
datang lalu memandang ke arah Melati, dengan kode tertentu sang bos menyuruh
Melati menanti kehadiranku. Sang bos tahu, bahwa restorannya sudah menjadi
bagian kegiatan kantoran dimana aku bekerja. Ia mendukung upaya yang telah aku
lakukan terhadap jalan hidup Melati. Seking mendukungnya, dia dijanjikan bahwa
kelak seandainya aku dan Melati menikah, hadiahnya seuntai kalung emas yang
indah buat kami.
Aneh! Pikirku. Ada apa dengan
Melati? kok nggak muncul-muncul. Dengan pikiran kacau dan hati yang gundah aku
mencari kawan akrabnya, Melli.
Tampaknya Melli lagi menunggu
kedatanganku, ia menyuruhkan membuka sebuah amplop.
“Ini titipan, Melati. Tak ada
ungkapan lain”, kata Melli singkat.
“Ada apa, ya?”.
“Aku sendiri juga nggak
mengerti, kok Melati bisa begitu. Ada apa dengan kalian?” tanyanya heran.
Aku menatap Melli. Penuh
dengan sejuta pertanyaan.
“Aku rasa biasa-biasa saja,
berjalan apa adanya. Seperti
dulu, saling mencintai, terbuka”.
Hatiku galau, perasaan kacau
dan pikiranku jadi kalut. Yang
terbayang hanyalah mamaku. Beliau menentang habis-habisan hubunganku dengan
Melati. Jadi, kok nggak tahu kalau mama ke Banda Aceh. Apa iya beliau ke sini?
Aku membaca isi surat titipan
Melati. Semuanya, tak tersisa. Hingga tak terasa air mataku jatuh berlinang dan
membasahi kertas putih ditanganku. Seakan tak percaya apa yang diutarakan dalam
suratnya, berulang-ulang aku membacanya.
“Aku sudah berusaha semampuku”
itu kata-kata yang sangat menyentuh bathinku. “Berbulan-bulan lamanya aku menyimpan perasaan
ini, agar hubungan kita bisa berjalan dengan semestinya. Cinta memang tak
memandang siapa-siapa, namun cinta bisa menentang siapa-siapa. Kamu anak orang
baik-baik, berpendidikan dan saleh. Ardi, mamamu benar, wanita yang bisa
mendampingimu bukan wanita seperti aku. Aku lebih baik menjauh dari kota ini
dan berjalan sendiri membawa perasaan cinta kita berdua. Aku sangat berterima
kasih padamu. Karena kamu, aku ini sudah mendapat hidayah dari Allah SWT,
karena kamu, aku sudah mendapat jati diriku lagi. Jangan khawatir, Ar. Aku bisa
menjaga amanah yang selama ini kamu siram ke kalbuku”.
Tidak! Ini tidak bisa terjadi begitu saja, aku akan
mencarinya, harus. Aku akan menyusulnya, aku akan mengembalikan dirinya padaku.
Duh mama, kenapa ini mama lakukan! Apa salah dia, ma. Bukankah dia sudah bertaubat? Dia sudah suci, ma. Dia
bukan wanita malam lagi, dia sudah insyaf. Oh! Tuhan, dimana dia sekarang?
Mama sudah berulang kali
mengingatku agar jangan mendekati Melati dengan alasan tidak jelas asal
usulnya. Siapa keluarganya, dan bagaimana dengan pekerjaannya. Yang sangat
terpukul, mama berharap agar hubunganku dengan Melati sangat diharamkan oleh
agama, oleh orang-orang yang selama ini banyak berguru padanya, pada orang
tuaku. Lebih pedih lagi aku disenyalir bermain dengan pelacur. Sehingga
orang-orang dikampungku banyak yang menganggap bahwa selama aku di Banda Aceh,
sudah jauh dari ajaran islam, bahkan telah melupakan bahwa aku ini anak seorang
teungku (Kyai).
Aku menjumpai Jabir. Biasanya
dia tahu dimana Melati pergi. Kalau aku bertugas ke luar daerah, Jabirlah
tempat ia menanyakan bagaimana keadaanku. Karena Jabir orang yang paling tahu atas hubungan
kami berdua.
”Apa?!” jawab Jabir seakan tak
percaya setelah membaca surat yang ditulis Melati. ”Sebenar ini tidak perlu
terjadi jikalau dipandang dari segi positifnya. Karena Melati sudah taubat.
Terkadang jalan pikiran kita tidak sama. Ini membutuhkan waktu untuk
menjelaskan semua. Walaupun demikian belum tentu juga semua pihak menerima
kenyataan ini. Terlebih Melati seorang yang telah terlanjur dianggap sampah
masyarakat.”
Aku terdiam seribu bahasa.
Sesak rasanya hati ini. Ya, Allah..... salahkah diriku ini, berdosakah diriku. Bukakanlah
pintu hati mereka agar percaya bahwa Melati sudah taubat. Engkau Maha Melihat
dan Maha Mengetahui. Jalannya masih panjang, hidupnya masih labil. Aku takut ia
akan kembali kejalan yang berlumpur dosa.
”Aku akan mencarinya. Aku harus mendapatkannya kembali.”
”Tapi kemana? Bukankan disini
hanya sendiri, sedangkan saudara yang ada cuma di Lhokseumawe.”
Aku kaget saat Jabir kalau
saudaranya ada di Lhokseumawe. Aku teringat apa yang dikatakan Melati bahwa
salah seorang abangnya ada yang bekerja di Pemko Lhokseumawe. Ia pernah
mengajak aku menjampai abangnya, akan tetapi kesempatan itu belum kesampaian.
”Ar...! Bagaimana kalau kamu
saya perkenalkan sama abang saya. Katanya ingin sekali menjumpaimu.” ajaknya
suatu masa.
”Insya Allah! Tapi untuk sekarang ini aku lagi sibuk. Mudah-mudahan kita cari kesempatan lain, ya? Tapi
kalau boleh aku tahu siapa namanya abangmu, mana tahu mungkin aku kenal”
”Namanya Sulaiman, ia bekerja
di Kantor di Lhoseumawe, tapi aku tidak tahu kantor apa. Kalau alamatnya, jalan
Cunda lorong semanggi no. 26. Kelurahan Cunda Lhoseumawe. Tidak jauh dari
terminal Cunda.”
Ya.... aku akan kesana, siapa
tahu dia pulang ke rumah abangnya. Melati, tak ada malammu lagi. Disini hati
teriris pedih, berduka bersama alunan debu-debu jalanan. Langkah linglung,
bagai riak tak bertepi. Bunga sedap malam itu, bunga penghias jendelamu
menunggu belaian tanganmu, kini tertunduk lemas lunglai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar