Pukul enam pagi, aku
sudah berada di Kota Banda Aceh. Kurebahkan badan ini diatas ranjang, untuk melepaskan penat yang mendera selama
dalam perjalanan. Sangat melelahkan.
Aku menghubungi Jabir,
mungkin sudah ada kabar dari Melati. Hati sangat was-was dan galau. Ada
keresahan yang menghantui jiwaku.
“Assalammualaiku, Jabir,
ini aku Ardi.”
“Waalaikumsalam, baru
sampai ya. Bagaimana acaranya sukses?”
“Alhamdulillah, berjalan
dengan baik. Eh! Ada kabar dari Melati?”
Kurasa nafas Jabir, tersengal.
Seakan susah untuk mengeluarkan kata-kata.
“Jabir, kamu baik-baik
saja kan?”
“Iya, saya baik-baik
saja, tapi ada kabar buruk. Kemarin aku terima berita dari kakaknya Melati dari
Lhoseumawe.”
“Apa itu?” jawabku
penasaran
“Melati sakit.”
Oh! Tahun, ada apalagi
yang terjadi. “Tahu sakitnya apa?”
“Nantilah kita
bicarakan, nggak enak lewat telepon. Kita jumpa di kantor”
“Ok, ntar kita jumpa.
Assalammualaikum.” Ucapkan sambil menutup telepon.
Aduh...... Melati, kamu
tersiksa akibat ulah mama, maafkan mamaku Melati. Mama tidak bermaksud
menyakiti hatimu, mama sudah ridha hubungan kita, Oh... Melati malang nian
nasibmu.
Siang itu hari tidak
begitu panas, setelah beres-beres dan merapikan kamar tidurku. Aku berangkat ke
kantor. Sebenarnya aku malas sekali ke kantor hari ini. Aku mau tidur dan
menghilangkan capek yang mendera tubuhku sejak dalam pejalanan. Tetapi aku
harus mengetahui kejelasan Jabir perihal sakitnya Melati.
Sebaiknya aku telepon
saja ke Lhokseumawe, bagaimana khabarnya Melati. Tapi kuurungkan niatku,
mungkin Jabir bisa lebih jelas untuk mengatakannya. Biasanya kalau keluarganya
yang menjelaskan, pasti merasa tidak enak, menimbang ini itu. Pokoknya
menimbang perasaan.
Dimeja kerjaku, aku
duduk termengu menunggu Jabir. Deg degan jantung ini ingin mengetahui apa yang
terjadi dengan Melati.
Kemudian jabir datang
menghampiriku. “Kita ke kantin saja, lebih santai,” ajaknya. Aku menurut saja.
Lalu memilih sudut yang tidak begitu ramai.
“Begini, Ar,” Jabir
mulai bercerita, “Apa yang dialami Melati, bukan karena ulah mamamu, sebenarnya
selama ini ia telah merasakan sakit dibagian perut bawahnya. Ia tidak berani
menjelaskan ini kepadamu. Karena ia sangat sayang padamu, ia takut kamu akan
kecewa.”
“Tapi...... sakitnya
apa?”
“Ia terkena HIV?”
Hah.....!!! Astaqfirullahal‘azim.
Bagaikan petir disiang bolong. Gelegarnya membahana hingga tulang-tulang ini
terasa patah. HIV, katanya dia telah melakukan pemeriksaan ke dokter, dan
hasilnya negatif. Ia sehat-sehat saja.
“Jadi, dia dimana
sekarang?” suara jadi serak
“Saya minta, maaf. Bukan
tidak saya kabari kamu, tetapi bagaimana saya hubungi kamu sedangkan telepon
saja disana belum ada, “ Jabir diam, ia menarik nafas dalam-dalam kemudian ia
melanjutnya, “Mel.... Melati meninggal.”
Innalillahi wainna
ialaihi rajiun. Oh.... Tuhan, kurasa bagaikan sebuah gunung tertumpu pada
pundakku, berat sekali cobaan yang Engkau berikan pada hamba-Mu ini. Orang yang
aku sayangi, yang selama ini telah menyemai bunga-bunga asmara kini telah
tiada. Tak sadar air mataku bercucuran, hingga membasahi kedua pipiku.
Kini bunga yang telah
engkau semai dalam taman hatiku, kian layu. Dedaunan satu persatu mulai memerah
dan jatuh tersimpuh bumi. Tak adalagi yang menyiraminya. Kini semua semu.
Harapan hanya tinggal harapan. Padahal sudah banyak ketabahan yang telah aku
jalani, namun kini semua sia-sia.
Melati pemikat sukma,
kini dikau jauh disana, Tak ada lagi bunga yang menghiasi bejana, pengharum
hariku disaat bersama. Malam indah tiada guna, harapan luruh kian merana.
Aduhai intan pemata delima, engkau tinggalkan aku tuk selamanya. Mengharap
bersanding disinggasana, rupanya Tahun melepaskan jiwa.
“Jabir, mungkin aku akan
ke sana. Aku akan bersimpuh di pusaranya. Aku tak bisa hidup tanpa dirinya, aku
telah kehilangan orang yang telah menanam benih cinta dihatiku.”
“Ardi, Istiqfar. Bahwa
semua itu sudah ada yang mengatur. Kamu tidak boleh mengucapkan demikian, dosa.
Kalau kesana, aku ikut bersamamu. Sebagai seorang teman aku pun merasakan apa
yang kamu rasakan saat ini.”
Hati ini kering, sudah
beberapa kali aku minum, akan tetapi kekeringan masih saja membalut dihatiku.
Tenggerokan perih, selaksa jarum tertancap disetiap dinding mulutku. Pahit
rasanya semua yang lewat dari mulutku. Kisah yang sangat mengharukan perjalanan
hidupku. Memang semuanya sudah di atur oleh Yang Maha Kuasa, kita manusia hanya
bisa menjalani saja. Tak ada yang bisa mencegah atas apa yang Dia kehendaki.
Mungkin ada hikmah dibalik semua itu. Aku harus tabah menerima kenyataan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar