12. Petir di Siang Bolong



Pukul enam pagi, aku sudah berada di Kota Banda Aceh. Kurebahkan badan ini diatas ranjang,  untuk melepaskan penat yang mendera selama dalam perjalanan. Sangat melelahkan.
Aku menghubungi Jabir, mungkin sudah ada kabar dari Melati. Hati sangat was-was dan galau. Ada keresahan yang menghantui jiwaku.
“Assalammualaiku, Jabir, ini aku Ardi.”
“Waalaikumsalam, baru sampai ya. Bagaimana acaranya sukses?”
“Alhamdulillah, berjalan dengan baik. Eh! Ada kabar dari Melati?”
Kurasa nafas Jabir, tersengal. Seakan susah untuk mengeluarkan kata-kata.
“Jabir, kamu baik-baik saja kan?”
“Iya, saya baik-baik saja, tapi ada kabar buruk. Kemarin aku terima berita dari kakaknya Melati dari Lhoseumawe.”
“Apa itu?” jawabku penasaran
“Melati sakit.”
Oh! Tahun, ada apalagi yang terjadi. “Tahu sakitnya apa?”
“Nantilah kita bicarakan, nggak enak lewat telepon. Kita jumpa di kantor”
“Ok, ntar kita jumpa. Assalammualaikum.” Ucapkan sambil menutup telepon.
Aduh...... Melati, kamu tersiksa akibat ulah mama, maafkan mamaku Melati. Mama tidak bermaksud menyakiti hatimu, mama sudah ridha hubungan kita, Oh... Melati malang nian nasibmu.
Siang itu hari tidak begitu panas, setelah beres-beres dan merapikan kamar tidurku. Aku berangkat ke kantor. Sebenarnya aku malas sekali ke kantor hari ini. Aku mau tidur dan menghilangkan capek yang mendera tubuhku sejak dalam pejalanan. Tetapi aku harus mengetahui kejelasan Jabir perihal sakitnya Melati.
Sebaiknya aku telepon saja ke Lhokseumawe, bagaimana khabarnya Melati. Tapi kuurungkan niatku, mungkin Jabir bisa lebih jelas untuk mengatakannya. Biasanya kalau keluarganya yang menjelaskan, pasti merasa tidak enak, menimbang ini itu. Pokoknya menimbang perasaan.
Dimeja kerjaku, aku duduk termengu menunggu Jabir. Deg degan jantung ini ingin mengetahui apa yang terjadi dengan Melati.
Kemudian jabir datang menghampiriku. “Kita ke kantin saja, lebih santai,” ajaknya. Aku menurut saja. Lalu memilih sudut yang tidak begitu ramai.
“Begini, Ar,” Jabir mulai bercerita, “Apa yang dialami Melati, bukan karena ulah mamamu, sebenarnya selama ini ia telah merasakan sakit dibagian perut bawahnya. Ia tidak berani menjelaskan ini kepadamu. Karena ia sangat sayang padamu, ia takut kamu akan kecewa.”
“Tapi...... sakitnya apa?”
“Ia terkena HIV?”
Hah.....!!! Astaqfirullahal‘azim. Bagaikan petir disiang bolong. Gelegarnya membahana hingga tulang-tulang ini terasa patah. HIV, katanya dia telah melakukan pemeriksaan ke dokter, dan hasilnya negatif. Ia sehat-sehat saja.
“Jadi, dia dimana sekarang?” suara jadi serak
“Saya minta, maaf. Bukan tidak saya kabari kamu, tetapi bagaimana saya hubungi kamu sedangkan telepon saja disana belum ada, “ Jabir diam, ia menarik nafas dalam-dalam kemudian ia melanjutnya, “Mel.... Melati meninggal.”
Innalillahi wainna ialaihi rajiun. Oh.... Tuhan, kurasa bagaikan sebuah gunung tertumpu pada pundakku, berat sekali cobaan yang Engkau berikan pada hamba-Mu ini. Orang yang aku sayangi, yang selama ini telah menyemai bunga-bunga asmara kini telah tiada. Tak sadar air mataku bercucuran, hingga membasahi kedua pipiku.
Kini bunga yang telah engkau semai dalam taman hatiku, kian layu. Dedaunan satu persatu mulai memerah dan jatuh tersimpuh bumi. Tak adalagi yang menyiraminya. Kini semua semu. Harapan hanya tinggal harapan. Padahal sudah banyak ketabahan yang telah aku jalani, namun kini semua sia-sia.
Melati pemikat sukma, kini dikau jauh disana, Tak ada lagi bunga yang menghiasi bejana, pengharum hariku disaat bersama. Malam indah tiada guna, harapan luruh kian merana. Aduhai intan pemata delima, engkau tinggalkan aku tuk selamanya. Mengharap bersanding disinggasana, rupanya Tahun melepaskan jiwa. 
“Jabir, mungkin aku akan ke sana. Aku akan bersimpuh di pusaranya. Aku tak bisa hidup tanpa dirinya, aku telah kehilangan orang yang telah menanam benih cinta dihatiku.”
“Ardi, Istiqfar. Bahwa semua itu sudah ada yang mengatur. Kamu tidak boleh mengucapkan demikian, dosa. Kalau kesana, aku ikut bersamamu. Sebagai seorang teman aku pun merasakan apa yang kamu rasakan saat ini.”
Hati ini kering, sudah beberapa kali aku minum, akan tetapi kekeringan masih saja membalut dihatiku. Tenggerokan perih, selaksa jarum tertancap disetiap dinding mulutku. Pahit rasanya semua yang lewat dari mulutku. Kisah yang sangat mengharukan perjalanan hidupku. Memang semuanya sudah di atur oleh Yang Maha Kuasa, kita manusia hanya bisa menjalani saja. Tak ada yang bisa mencegah atas apa yang Dia kehendaki. Mungkin ada hikmah dibalik semua itu. Aku harus tabah menerima kenyataan ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar