1. Bintang Bertasbih

Pagi itu, bus yang kutumpangi dari arah Medan memasuki pelataran terminal Setui Banda Aceh, kemudian berhenti dengan mulusnya pada tempat yang telah diarahkan oleh awak armadanya. Tak lama kemudian, para penumpang turun satu persatu meninggalkan bus. Diantaranya ada yang dijemput oleh sanak famili, pacar dan mungkin juga suami atau isteri mereka. Aku masih duduk di bangku nomor dua sembilan, menunggu semua penumpang turun. Namun mungkin karena kecapean atau lelah, aku tertidur.
Jam sudah menunjukan pukul dua puluh satu kurang, saat sebuah jari mengelus-elus keningku, aku terperanjat “Astaqfirullah, aku tertidur”, saat itupula seraut wajah tersenyum dihadapanku.
            “Melati….?” gumanku
“Capek ya. Ayo, mereka sudah menunggu”, ujar Melati  tersenyum.
Melati menarik tanganku. Sambil mengusap-usap mata, akupun melangkah mengikuti Melati yang terus menarik tanganku.
Wanita ayu ini yang aku kenal pada sebuah restoran terkenal di Kota Banda Aceh “Banda Raya”, liku hidupnya sangat menyedihkan. Aku tak mengerti kenapa bisa tertarik padanya. Sebagai seorang pria normal, banyak yang menentang kedekatan aku dengan Melati. Namun rasa ingin tahu tentang kehidupannya semakin menjadi-jadi, sehingga aku bertekat untuk terus mendekati walau ada yang membencinya.
Sayang bila seorang gadis cantik ini terus merasa tertekan oleh keadaan, kemana ia melangkah seakan-akan dia menginjak seribu duri yang terus mengikuti ayunan langkahnya. Akan tetapi tuntutan hiduplah yang membuat ia tegar dan terus melangkah.
Saat aku tahu siapa dia sebenarnya, ada perasaan lain dihatiku. Aku ingin melindunginya, ingin terus membimbing ayunan langkahnya, walau dia ada perasaan tak percaya terhadapku, namun kepastian terus aku nyatakan padanya.
“Apa kamu nggak takut, kalau orang-orang menghina kamu?” katanya pada suatu saat. Aku hanya tersenyum dan yakin bahwa dia hanya ingin tahu kepastian diriku.
“Mel, manusia ini hidup bermacam-macam ragam. Kadang-kadang bila kita perhatikan tak ada diantara mereka yang sempurna. Bisa kamu lihat misalnya para pejabat, kalau mereka mengandalkan gaji, saya rasa rumah dan mobil tak mungkin sebesar dan sebanyak itu. Apalagi aku, kamu, yang jelas-jelas bukan siapa-siapa. Jadi, takut dihina orang? Karena orang itu belum tahu siapa dirinya yang sebenarnya”.
Tanpa pernah meminta, manusia ditakdirkan terlahir dengan berbagai perbedaan, mulai dari tempat dan tanggal lahir sampai pada berbeda nasib. Pada hal Allah SWT berfirman : “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptanya kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal (Q.S Al-Hujarat : 13)”
Sejak saat itulah Melati semakin percaya akan hasrat hatiku, dan semakin merenggangkan gerak hidupnya sedikit demi sedikit. Atas keyakinan itu Melati menerima kehadiranku, walau banyak yang mengatakan bahwa, bila aku berhubungan dengannya akan membuat penjara  dalam hidup sendiri.
Tekat dan hasrat sudah bulat, ini aku serahkan kepada Allah SWT semata. Aku yakin paling tidak, aku telah menarik Melati dari jalan yang kelam, jalan yang selama ini ia tempuh. Dan aku harus bertanggung jawab atas apa yang telah aku perbuat dengan memutar jalur hidup yaitu membimbingnya dan tentu ia akan bertaubat.
Aku melihat Jabirpun ikut menjemputku yang datang bersama pacarnya yang beberapa bulan ini telah bertitah dihatinya. Cukup manis ukuran Jabir yang berkulit gelap. Ada kebahagiaan menghiasi perjalanan asmara mereka. Semoga sampai kejenjang pernikahan. Harapan yang diharapkan oleh setiap pemuda, hasrat yang sangat aku harapkan bersama Melati.
Melintasi jalan Teuku Umar, menyelesuri sepanjang jalan menuju kearah pusat kota. Kota Banda Aceh disaat konflik agak begitu senyap. Bila berpapasan dengan petugas patroli, terpaksa mobil yang disopiri Jabir melambatkan lajunya.
Melewati simpang empat jam taman sari, terus belok kearah pendopo gubernur. Jalan sepi, yang ada disisi kiri, sejumlah pasukan tentara bersenjata lengkap nampak berjaga-jaga di markas Kodim 0101 Aceh Besar.
”Jabir, kita singgah dulu disimpang Surabaya. Aku lapar nih.”
”Ok, bos. Dari tadi kek, soalnya kami juga lapar, ya kan Mel?”
Aku melirik ke arah Melati yang terkantu-kantuk.
”Aku ikut aja,” jawabnya pelan.
”Dari tadi belum makan, maklum nunggu sang pangeran turun dari langit,” celoteh Maya pacarnya Jabir.
”Hus..........! Ngaco kamu Maya, saya tadi udah makan sebelum ke terminal.”
Jam 10 lewat begini masih rame pengunjung kafe-kafe dipelataran toko. Mereka asyik dengan bersenda gurau, untuk menghalau kengerian dinegeri ini.
Simpang Surabaya memang sangat strategis untuk melepaskan penat, para penjual makanan seperti nasi goreng, aneka sate, aneka juice dipinggir jalan tertata sepanjang trotoar. Kursi berjejer yang diletakkan diemperan toko. Hanya pada malam hari saja para penjual makanan tersebut membuka jajanan.
Simpang Surabaya ini juga sangat sering terjadi kontak senjata, pernah suatu malam aku dan kawan-kawan duduk di teras rumah. Tiba-tiba denduman suara granat membahana memecah keheningan malam.  Dengan tiba-tiba, letusan senjata dari seluruh penjuru Kota Banda Aceh sehut menyahut bagaikan di arena peperangan. Di langit, lintasan peluru berwarna warni mengeluarkan cahaya saling silang arah. Mengerikan.
Di dalam saku jaket, aku telah sediakan beberapa cinderamata sebagai oleh-oleh. Rencananya akan kuberikan semua kepada Melati, akan tetapi karena Maya ikut juga, ya terpaksa dibagi adil.
”Ini ada bros bunga mawar, sebagai oleh-oleh untuk kalian berdua. Semoga bisa berarti untuk kalian”
”Wah....! Indah ya, bang. Bagus bangat, makasih bang.” jawab Maya.
”Buat saya mana? Nggak adil tuh, Ar.” kata Jabil.
Melati cuma senyum, sambil memperhatikan bros ditangannya. Dia merasa senang.
”Ya.... makasih juga, saya senang. Dan sangat senang kalau bang Ardi selalu ada disampingku. Karena kamu lebih dari sebuah cinderamata yang terindah dimanapun di dunia ini.”

Malam kian dingin, bintang-bintang berkedip sambil bertasbih mengharap agar bumi ini selalu aman dan damai sehingga ummatnya bisa beribadat dengan tenang dan khusuk. 

1 komentar: