Pagi itu, bus yang kutumpangi dari arah Medan memasuki pelataran
terminal Setui Banda Aceh, kemudian berhenti dengan mulusnya pada tempat yang
telah diarahkan oleh awak armadanya. Tak lama kemudian, para penumpang turun satu persatu meninggalkan bus. Diantaranya ada yang dijemput oleh sanak famili, pacar dan mungkin
juga suami atau isteri mereka. Aku masih duduk di bangku nomor dua sembilan,
menunggu semua penumpang turun. Namun mungkin karena kecapean atau lelah, aku
tertidur.
Jam sudah menunjukan pukul dua puluh satu kurang, saat
sebuah jari mengelus-elus keningku, aku terperanjat “Astaqfirullah, aku
tertidur”, saat itupula seraut wajah tersenyum dihadapanku.
“Melati….?” gumanku
“Capek ya. Ayo, mereka sudah menunggu”, ujar Melati tersenyum.
Melati menarik tanganku. Sambil mengusap-usap mata,
akupun melangkah mengikuti Melati yang terus menarik tanganku.
Wanita ayu ini yang aku kenal pada sebuah restoran
terkenal di Kota Banda Aceh “Banda Raya”, liku hidupnya sangat menyedihkan. Aku
tak mengerti kenapa bisa tertarik padanya. Sebagai seorang pria normal, banyak
yang menentang kedekatan aku dengan Melati. Namun rasa ingin tahu tentang
kehidupannya semakin menjadi-jadi, sehingga aku bertekat untuk terus mendekati
walau ada yang membencinya.
Sayang bila seorang gadis cantik ini terus merasa
tertekan oleh keadaan, kemana ia melangkah seakan-akan dia menginjak seribu
duri yang terus mengikuti ayunan langkahnya. Akan tetapi tuntutan hiduplah yang
membuat ia tegar dan terus melangkah.
Saat aku tahu siapa dia
sebenarnya, ada perasaan lain dihatiku. Aku ingin
melindunginya, ingin terus membimbing ayunan langkahnya, walau dia ada perasaan
tak percaya terhadapku, namun kepastian terus aku nyatakan padanya.
“Apa kamu nggak takut, kalau orang-orang menghina kamu?”
katanya pada suatu saat. Aku hanya tersenyum dan yakin bahwa dia hanya ingin tahu
kepastian diriku.
“Mel, manusia ini hidup bermacam-macam ragam.
Kadang-kadang bila kita perhatikan tak ada diantara mereka yang sempurna. Bisa
kamu lihat misalnya para pejabat, kalau mereka mengandalkan gaji, saya rasa
rumah dan mobil tak mungkin sebesar dan sebanyak itu. Apalagi aku, kamu, yang
jelas-jelas bukan siapa-siapa. Jadi, takut dihina orang? Karena orang itu belum
tahu siapa dirinya yang sebenarnya”.
Tanpa pernah meminta, manusia ditakdirkan terlahir
dengan berbagai perbedaan, mulai dari tempat dan tanggal lahir sampai pada
berbeda nasib. Pada hal Allah SWT berfirman : “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptanya kamu dari laki-laki dan
perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal (Q.S Al-Hujarat : 13)”
Sejak saat itulah Melati semakin percaya akan hasrat
hatiku, dan semakin merenggangkan gerak hidupnya sedikit demi sedikit. Atas
keyakinan itu Melati menerima kehadiranku, walau banyak yang mengatakan bahwa,
bila aku berhubungan dengannya akan membuat penjara dalam hidup sendiri.
Tekat dan hasrat sudah bulat, ini aku serahkan kepada
Allah SWT semata. Aku yakin paling tidak, aku telah menarik Melati dari jalan
yang kelam, jalan yang selama ini ia tempuh. Dan aku harus bertanggung jawab
atas apa yang telah aku perbuat dengan memutar jalur hidup yaitu membimbingnya
dan tentu ia akan bertaubat.
Aku melihat Jabirpun ikut menjemputku yang datang bersama
pacarnya yang beberapa bulan ini telah bertitah dihatinya. Cukup manis ukuran
Jabir yang berkulit gelap. Ada kebahagiaan
menghiasi perjalanan asmara
mereka. Semoga sampai kejenjang pernikahan. Harapan yang diharapkan oleh setiap
pemuda, hasrat yang sangat aku harapkan bersama Melati.
Melintasi jalan Teuku Umar,
menyelesuri sepanjang jalan menuju kearah pusat kota. Kota Banda Aceh disaat
konflik agak begitu senyap. Bila berpapasan dengan petugas patroli, terpaksa
mobil yang disopiri Jabir melambatkan lajunya.
Melewati simpang empat jam
taman sari, terus belok kearah pendopo gubernur. Jalan sepi, yang ada disisi
kiri, sejumlah pasukan tentara bersenjata lengkap nampak berjaga-jaga di markas
Kodim 0101 Aceh Besar.
”Jabir, kita singgah dulu
disimpang Surabaya. Aku lapar nih.”
”Ok, bos. Dari tadi kek, soalnya kami juga lapar, ya
kan Mel?”
Aku melirik ke arah Melati
yang terkantu-kantuk.
”Aku ikut aja,” jawabnya pelan.
”Dari tadi belum makan, maklum
nunggu sang pangeran turun dari langit,” celoteh Maya pacarnya Jabir.
”Hus..........! Ngaco kamu
Maya, saya tadi udah makan sebelum ke terminal.”
Jam 10 lewat begini masih rame
pengunjung kafe-kafe dipelataran toko. Mereka asyik dengan bersenda gurau, untuk menghalau kengerian dinegeri ini.
Simpang Surabaya memang sangat
strategis untuk melepaskan penat, para penjual makanan seperti nasi goreng,
aneka sate, aneka juice dipinggir jalan tertata sepanjang trotoar. Kursi
berjejer yang diletakkan diemperan toko. Hanya pada malam hari saja para penjual
makanan tersebut membuka jajanan.
Simpang Surabaya ini juga sangat
sering terjadi kontak senjata, pernah suatu malam aku dan kawan-kawan duduk di
teras rumah. Tiba-tiba denduman suara granat membahana memecah keheningan
malam. Dengan tiba-tiba, letusan senjata
dari seluruh penjuru Kota Banda Aceh sehut menyahut bagaikan di arena
peperangan. Di langit, lintasan peluru berwarna warni mengeluarkan cahaya
saling silang arah. Mengerikan.
Di dalam saku jaket, aku telah
sediakan beberapa cinderamata sebagai oleh-oleh. Rencananya akan kuberikan
semua kepada Melati, akan tetapi karena Maya ikut juga, ya terpaksa dibagi
adil.
”Ini ada bros bunga mawar,
sebagai oleh-oleh untuk kalian berdua. Semoga bisa berarti untuk kalian”
”Wah....! Indah ya, bang.
Bagus bangat, makasih bang.” jawab Maya.
”Buat saya mana? Nggak adil
tuh, Ar.” kata Jabil.
Melati cuma senyum, sambil
memperhatikan bros ditangannya. Dia merasa senang.
”Ya.... makasih juga, saya
senang. Dan sangat senang kalau bang Ardi selalu ada disampingku. Karena kamu lebih dari sebuah cinderamata
yang terindah dimanapun di dunia ini.”
Malam kian dingin,
bintang-bintang berkedip sambil bertasbih mengharap agar bumi ini selalu aman
dan damai sehingga ummatnya bisa beribadat dengan tenang dan khusuk.
Lebih baik
BalasHapus