Sepulang dari kantor hari
sudah senja. Diujung langit,
mega merona menghiasi cakrawala. Sekawan burung bangau putih melintasi dilangit
menantang angin. Sesekali terbang rendah dan melambat. Alunan ayat-ayat suci
dari menara mesjid sambung menyambung menggema Takbir Ilahi untuk mengajak umat
manusia melakukan ibadah.
Siang tadi Melati
menghubungiku lewat telepon, bahwa ia sore ini kerumah. Aku hanya bilang datang saja, kalau aku terlambat
tunggu aja dirumah. Mungkin, ia sudah menunggu dirumah. Antara kantor dan
tempat tinggalku tidak begitu jauh. Dengan melintasi Jalan Tgk Daud Beureueh, kemudian masuk ke jalan Dharma. Kalau
pakai mobil, jalannya jauh melingkar ke Jambo Tape atau bisa juga dari arah
Simpat Lima lalu ke Peunayong, belok kanan. Tapi, aku belum punya mobil. Aku jalan kaki saja,
praktis dan murah.
Sesampai dirumah aku melihat
Melati sudah duduk diruang tamu sambil membolak balik albumku. Aku mengucap
salam dengan pelan. Melati menjawab dengan suara yang agak serak.
“Udah lama, Mel ?” tanyaku.
Melati melirik ke arah jam
yang ada ditangan kirinya, ”Setengah jam yang lalu,” ujarnya. Jam kecil itu
pemberianku pada saat pameran pembangunan yang diadakan oleh pemerintah
provinsi. Kala itu ia melirik ke arah para penjualan dadakan yang berbanjar di trotoar Blangpadang. Lalu
matanya tertuju pada penjaja jam. Aku menawarkan padanya. Dengan tersipu ia
mengatakan ”Bisa juga bang. Sudah lama aku nggak pakai jam. Yang inipun jadi.”
Katany sambil memperlihatkan jam kesukaannya padaku.
Setalah membuka sepatu lalu
kemudian menggantikan kostum dengan menggunakan kaos pendek lengan, akupun
menyiapkan dua gelas teh hangat sekedar
untuk menyegarkan tenggorokan.
“Gimana di Kantor?” tanya
Melati ingin tahu.
“Biasa-biasa aja, nggak ada
yang istimewa. Nggak ada sambutan Kepala kantor, nggak ada tepuk tangan dari
kawan-kawan.”
“Memang di Medan bawa pulang
apa kok ada sambutan meriah, kayak baru pulang perang aja”
“Iya kali, kan ini musimnya
perang. Udah, nggak perlu diperpanjang” jawabku sambil bergurau lalu aku menghidupkan
telivisi tua yang telah lama menemani aku.
Azan Magrib mengumandang
disetiap sudut kota, habis mandi aku terus melaksanakan shalat sendirian
dirumah, ku lihat Melatipun sedang siap siap dengan mukenanya, dia menungguku
selesai shalat karena sajadah cuma satu. Selesai shalat, sajadah kuserahkan
padanya untuk menunaikan shalat. Aku sangat bersyukur, akhirnya ia tunaikan
perintah Allah dengan kusyuk. Memohon ampun atas selama ini yang telah ia
perbuat. Dan selama itupula ia telah melupakan sang pencipta, ia larut dalam
kegalauan hati. Lari dari sebuah ketidakpastian hidup. Mohon ampunlah Mel,
karena Allah Maha Mendengar dan Maha Pengampun. Dengan melakukan taubat Nasuha,
Insya Allah, Allah pasti mendengar doa hambanya yang teraniaya.
Saat pertama kali aku
mengajaknya melalukan shalat di Mesjid Raya Baiturrahman, Aku berdoa, agar
Melati betul-betul ikhlas dan menjadikan ibadah bagian dari hidupnya. Karena
dengan melakukan ibadah dengan benar, maka akan terbebas dari gangguan-gangguan
syaten untuk melakukan hal-hal yang dilarang.
”Ardi, apakah Allah
menghapuskan dosaku bila, aku bertaubat?” tanya Melati disela-sela duduk di
depan mesjid.
Aku tersenyum, sebuah
pertanyaan yang menyejukkan hati. ”Mel, Allah Maha Pemurah dan Maha Pengampun.
Allah akan menerima ibadah, apabila kamu betul-betul dan ikhlas dalam
melaksanakannya. Kita tidak boleh cuma karena aku kamu shalat, karena aku mau
beramal. Mel, aku sebagai petunjuk jalan selalu berdoa agar dibuka pintu
hidayah untukmu. Oleh karena itu diperlukan kesabaran dan ketekunan untuk
merubah cara dan tabiat yang selama ini telah merasuk dalam jiwa.”
Melati menarik nafas
dalam-dalam. Lalu diangkat wajahnya kelangit jingga. Seraya ia berdoa, agar
ditetapkan hidup dan mati dalam keimanan. Doa seorang anak manusia yang penuh
dengan dosa, taubatnya anak manusia yang dijera oleh kepahitan hidup.
Selama aku meninggalkannya,
hatiku sangat kacau. Aku takut jikalau ia terjebak lagi melakukan perbuatannya
dulu. Aku takut usahaku sia-sia.
“Aku hanya berharap, kamu disini
baik-baik saja selama aku pergi dan hanya aku dihatimu” ujarku berharap.
“Kamu cemburu ya?”
“Iya! Aku cemburu sekali bila
melihat dirimu bersama yang lain, bila orang lain memegang tanganmu, membelaimu
dan memelukmu. Aku tak ingin itu terjadi, Mel. Aku takut kehilanganmu,
kehilangan sebuah perasaan, sebuah cinta, yang selama bertahun-tahun aku
mencobanya. Aku tak ingin ada kegagalan lagi.”
Mata Melati berkaca-kaca,
setetes air bening membasahi pipinya yang indah. Seperti rembulan malam, yang
memancarkan sinarnya menembus jendela. Ada keteduhan yang tertampung dalam
lingkaran cahaya. Bibir Melati bergetar.
“Percayalah padaku, aku tak
akan berkhianat padamu. Aku
selalu bersamamu. Karena kamu bang, aku bisa hidup begini”.
Maafkan aku, bukan maksud
untuk membuka luka lamamu. Aku hanya khawatir akan diriku sendiri, yang selalu
berprasangka yang bukan-bukan. Hatiku menjerit. Pada hal sudah lama sekali aku
tak pernah mengungkapkan kata-kata yang bisa membuat luka hatinya. Entah setan
mana yang membisikkannya, sehingga dengan tak sengaja aku telah membuat hatinya
luruh. Sekali lagi maafkan aku.
Seandainya ia halal, mungkin
aku akan memeluk seerat-eratnya. Aku kulindungi dengan dekapan dan kehangatan. Aku tahu, sangat tidak etis
bila hal itu aku lakukan, paling tidak aku harus menghormati kedua orang tuaku,
saudaraku. Kubatasi kedekatanku dengan Melati. Karena dia belum menjadi
mahramku.
Malam semakin larut, Melati
masih tertidur, ingin aku bangunkan dia, namun hati ini tak kuasa untuk
mengusik mimpinya. Kuhubungi Jabir untuk menamaniku, takut kalau seseorang
melihat aku dan Melati dalam satu rumah akan terjadi fitnah.
”Halo Jabir, bisa kerumah
sebentar. Melati ada dirumah, nggak enak dilihat orang nanti”
”Oke, aku segera ke sana,”
jawab Jabir
Tidak begitu
lama, Jabirpun tiba di rumah. Diteras rumah sambil duduk aku telah menyiapkan
dua gelas teh hangat.
Aku menceritakan kalau Melati
lagi tertidur di sofa kamar tamu. Aku tak ingin ada prasangka buruk dari
tetangga karena ada wanita yang bukan muhrim masuk kerumahku. Melati sudah
sering kerumah, dan para tetanggapun sudah mengetahuinya. Akan tetapi walaupun
demikian aku tetap harus menjaga, paling tidak ada batas yang sedemikian rupa
agar kecurigaan mereka terhadap Melati tidak mencul kemudian. Mudah-mudahan
nggak ada yang menuduh yang macam-macam.
Jabir mengerti, ia tahu kalau
sifatku bukan pemain wanita. Dan diapun tahu siapa Melati, dan kalau aku mau
melakukan sesuatu terhadap Melati, dengan pasrah Melati akan melayaninya.
Itulah pekerjaan dulu yang pernah ia lakukan terhadap laki-laki hidung belang.
Dan kini hidupnya dipasrahkan kepadaku. Ia rela kemana saja ia kubawa, dia
pasti mengikutinya.
”Ada apa dia kemari” selidik
Jabir
Aku tersenyum ”Yah.... paling
tidak ia kesepian di rumahnya. Atau rasa kangennya belum hilang.”
Jabir manggut-manggut. Entah
apa yang ada dalam pikirannya. Paling tidak ia tidak menebak yang bukan-bukan.
Pukul 10.00 tepat, Melati
terjaga dari tidurnya. Ku lihat ia sedang menguap lebar, tetapi segera
tangannya menutup mulut yang
lagi terbuka. Saat ia
melirik arah jam, ia terperanjat. Lalu keluar menghampiri kami sedang
berbincang. Aku tersenyum, Jabirpun ikut tersenyum. Melati cemburut, ia merasa kesal karena dibiarkan
tertidur di sofa. Lalu balik kedalam dan mengambil tasnya di atas meja strika.
”Ada yang mau mengantar saya
pulang?” Ujarnya.
Aku cuma melirik ke arah
Jabir. Karena ia mempunyai motor, dan searah dengannya.
”Biar aku saja, kitakan
searah. Biar Ardi istirahat, mungkin ia sudah capek.”
Kulihat Melati mengaggukkan
kepala. Ia maklum dan seiring dengan
pekatnya malam mereka hilang dibalik tikungan toko. Melati, mungkin kamu kangen
terhadapku, tapi untuk saat ini belum tepat waktunya untuk menghilangkan rasa
kangen tersebut. Biarlah waktu yang berbisik kapan dan dimana kita saling melepasnya
nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar