2. Hati Yang Tersiram

Sepulang dari kantor hari sudah senja. Diujung langit, mega merona menghiasi cakrawala. Sekawan burung bangau putih melintasi dilangit menantang angin. Sesekali terbang rendah dan melambat. Alunan ayat-ayat suci dari menara mesjid sambung menyambung menggema Takbir Ilahi untuk mengajak umat manusia melakukan ibadah.
Siang tadi Melati menghubungiku lewat telepon, bahwa ia sore ini kerumah. Aku hanya bilang datang saja, kalau aku terlambat tunggu aja dirumah. Mungkin, ia sudah menunggu dirumah. Antara kantor dan tempat tinggalku tidak begitu jauh. Dengan melintasi Jalan Tgk Daud Beureueh, kemudian masuk ke jalan Dharma. Kalau pakai mobil, jalannya jauh melingkar ke Jambo Tape atau bisa juga dari arah Simpat Lima lalu ke Peunayong, belok kanan. Tapi, aku belum punya mobil. Aku jalan kaki saja, praktis dan murah.
Sesampai dirumah aku melihat Melati sudah duduk diruang tamu sambil membolak balik albumku. Aku mengucap salam dengan pelan. Melati menjawab dengan suara yang agak serak.
“Udah lama, Mel ?” tanyaku.
Melati melirik ke arah jam yang ada ditangan kirinya, ”Setengah jam yang lalu,” ujarnya. Jam kecil itu pemberianku pada saat pameran pembangunan yang diadakan oleh pemerintah provinsi. Kala itu ia melirik ke arah para penjualan dadakan yang  berbanjar di trotoar Blangpadang. Lalu matanya tertuju pada penjaja jam. Aku menawarkan padanya. Dengan tersipu ia mengatakan ”Bisa juga bang. Sudah lama aku nggak pakai jam. Yang inipun jadi.” Katany sambil memperlihatkan jam kesukaannya padaku.
Setalah membuka sepatu lalu kemudian menggantikan kostum dengan menggunakan kaos pendek lengan, akupun menyiapkan dua gelas  teh hangat sekedar untuk menyegarkan tenggorokan.
“Gimana di Kantor?” tanya Melati ingin tahu.
“Biasa-biasa aja, nggak ada yang istimewa. Nggak ada sambutan Kepala kantor, nggak ada tepuk tangan dari kawan-kawan.”
“Memang di Medan bawa pulang apa kok ada sambutan meriah, kayak baru pulang perang aja”
“Iya kali, kan ini musimnya perang. Udah, nggak perlu diperpanjang” jawabku sambil bergurau lalu aku menghidupkan telivisi tua yang telah lama menemani aku.
Azan Magrib mengumandang disetiap sudut kota, habis mandi aku terus melaksanakan shalat sendirian dirumah, ku lihat Melatipun sedang siap siap dengan mukenanya, dia menungguku selesai shalat karena sajadah cuma satu. Selesai shalat, sajadah kuserahkan padanya untuk menunaikan shalat. Aku sangat bersyukur, akhirnya ia tunaikan perintah Allah dengan kusyuk. Memohon ampun atas selama ini yang telah ia perbuat. Dan selama itupula ia telah melupakan sang pencipta, ia larut dalam kegalauan hati. Lari dari sebuah ketidakpastian hidup. Mohon ampunlah Mel, karena Allah Maha Mendengar dan Maha Pengampun. Dengan melakukan taubat Nasuha, Insya Allah, Allah pasti mendengar doa hambanya yang teraniaya.
Saat pertama kali aku mengajaknya melalukan shalat di Mesjid Raya Baiturrahman, Aku berdoa, agar Melati betul-betul ikhlas dan menjadikan ibadah bagian dari hidupnya. Karena dengan melakukan ibadah dengan benar, maka akan terbebas dari gangguan-gangguan syaten untuk melakukan hal-hal yang dilarang.
”Ardi, apakah Allah menghapuskan dosaku bila, aku bertaubat?” tanya Melati disela-sela duduk di depan mesjid.
Aku tersenyum, sebuah pertanyaan yang menyejukkan hati. ”Mel, Allah Maha Pemurah dan Maha Pengampun. Allah akan menerima ibadah, apabila kamu betul-betul dan ikhlas dalam melaksanakannya. Kita tidak boleh cuma karena aku kamu shalat, karena aku mau beramal. Mel, aku sebagai petunjuk jalan selalu berdoa agar dibuka pintu hidayah untukmu. Oleh karena itu diperlukan kesabaran dan ketekunan untuk merubah cara dan tabiat yang selama ini telah merasuk dalam jiwa.”
Melati menarik nafas dalam-dalam. Lalu diangkat wajahnya kelangit jingga. Seraya ia berdoa, agar ditetapkan hidup dan mati dalam keimanan. Doa seorang anak manusia yang penuh dengan dosa, taubatnya anak manusia yang dijera oleh kepahitan hidup.
Selama aku meninggalkannya, hatiku sangat kacau. Aku takut jikalau ia terjebak lagi melakukan perbuatannya dulu. Aku takut usahaku sia-sia.
“Aku hanya berharap, kamu disini baik-baik saja selama aku pergi dan hanya aku dihatimu” ujarku berharap.
“Kamu cemburu ya?”
“Iya! Aku cemburu sekali bila melihat dirimu bersama yang lain, bila orang lain memegang tanganmu, membelaimu dan memelukmu. Aku tak ingin itu terjadi, Mel. Aku takut kehilanganmu, kehilangan sebuah perasaan, sebuah cinta, yang selama bertahun-tahun aku mencobanya. Aku tak ingin ada kegagalan lagi.”
Mata Melati berkaca-kaca, setetes air bening membasahi pipinya yang indah. Seperti rembulan malam, yang memancarkan sinarnya menembus jendela. Ada keteduhan yang tertampung dalam lingkaran cahaya. Bibir Melati bergetar.
“Percayalah padaku, aku tak akan berkhianat padamu. Aku selalu bersamamu. Karena kamu bang, aku bisa hidup begini”.
Maafkan aku, bukan maksud untuk membuka luka lamamu. Aku hanya khawatir akan diriku sendiri, yang selalu berprasangka yang bukan-bukan. Hatiku menjerit. Pada hal sudah lama sekali aku tak pernah mengungkapkan kata-kata yang bisa membuat luka hatinya. Entah setan mana yang membisikkannya, sehingga dengan tak sengaja aku telah membuat hatinya luruh. Sekali lagi maafkan aku.
Seandainya ia halal, mungkin aku akan memeluk seerat-eratnya. Aku kulindungi dengan dekapan dan kehangatan. Aku tahu, sangat tidak etis bila hal itu aku lakukan, paling tidak aku harus menghormati kedua orang tuaku, saudaraku. Kubatasi kedekatanku dengan Melati. Karena dia belum menjadi mahramku.
Malam semakin larut, Melati masih tertidur, ingin aku bangunkan dia, namun hati ini tak kuasa untuk mengusik mimpinya. Kuhubungi Jabir untuk menamaniku, takut kalau seseorang melihat aku dan Melati dalam satu rumah akan terjadi fitnah.
”Halo Jabir, bisa kerumah sebentar. Melati ada dirumah, nggak enak dilihat orang nanti”
”Oke, aku segera ke sana,” jawab Jabir
Tidak begitu lama, Jabirpun tiba di rumah. Diteras rumah sambil duduk aku telah menyiapkan dua gelas teh hangat.  
Aku menceritakan kalau Melati lagi tertidur di sofa kamar tamu. Aku tak ingin ada prasangka buruk dari tetangga karena ada wanita yang bukan muhrim masuk kerumahku. Melati sudah sering kerumah, dan para tetanggapun sudah mengetahuinya. Akan tetapi walaupun demikian aku tetap harus menjaga, paling tidak ada batas yang sedemikian rupa agar kecurigaan mereka terhadap Melati tidak mencul kemudian. Mudah-mudahan nggak ada yang menuduh yang macam-macam. 
Jabir mengerti, ia tahu kalau sifatku bukan pemain wanita. Dan diapun tahu siapa Melati, dan kalau aku mau melakukan sesuatu terhadap Melati, dengan pasrah Melati akan melayaninya. Itulah pekerjaan dulu yang pernah ia lakukan terhadap laki-laki hidung belang. Dan kini hidupnya dipasrahkan kepadaku. Ia rela kemana saja ia kubawa, dia pasti mengikutinya.
”Ada apa dia kemari” selidik Jabir
Aku tersenyum ”Yah.... paling tidak ia kesepian di rumahnya. Atau rasa kangennya belum hilang.”
Jabir manggut-manggut. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Paling tidak ia tidak menebak yang bukan-bukan.
Pukul 10.00 tepat, Melati terjaga dari tidurnya. Ku lihat ia sedang menguap lebar, tetapi segera tangannya menutup mulut yang lagi terbuka. Saat ia melirik arah jam, ia terperanjat. Lalu keluar menghampiri kami sedang berbincang. Aku tersenyum, Jabirpun ikut tersenyum. Melati cemburut, ia merasa kesal karena dibiarkan tertidur di sofa. Lalu balik kedalam dan mengambil tasnya di atas meja strika.
”Ada yang mau mengantar saya pulang?” Ujarnya.
Aku cuma melirik ke arah Jabir. Karena ia mempunyai motor, dan searah dengannya.
”Biar aku saja, kitakan searah. Biar Ardi istirahat, mungkin ia sudah capek.”

Kulihat Melati mengaggukkan kepala.  Ia maklum dan seiring dengan pekatnya malam mereka hilang dibalik tikungan toko. Melati, mungkin kamu kangen terhadapku, tapi untuk saat ini belum tepat waktunya untuk menghilangkan rasa kangen tersebut. Biarlah waktu yang berbisik kapan dan dimana kita saling melepasnya nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar