11. Bernegosiasi Perasaan



Azan subuh aku kumandangkan dengan syahdu, agar  suara ini memenuhi seantero mayapada. Sehingga terperangah makhluk Allah untuk menunaikan ibadah pada sang Khalik. Ku alunkan asma Ilahi, sehingga gaung bersahutan bersama batu-batu gunung yang ada disekeliling desaku. Desa yang nyaman dan teduh.
Kupasrahkah diri dihadapan-Nya, seraya berdoa agar selamat dunia dan akhirat. Kepada kedua orang tua supaya diberi keampunan atas segala dosa mereka, karena mereka telah mengasihiku sejak lahir. “Ya, Allah. Ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku, dan kasihanilah mereka sebagaimana mereka mengasihiku sejak kecil.”
Tuhan, seandainya Melati adalah yang terbaik bagiku, aku mohon pertemukan aku dengannya. Tetapi apabila Melati kelak akan menjadikan fitnah dalam hidupku baik di dunia maupun diakhirat kelak, maka jauhkanlah dirinya dari kehidupanku. Karena engkaulah Yang Maha Tahu.
Saat aku keluar dari dalam mesjid, matahari masih dibalik gunung. Kurasakan udara yang nyaman dan sejuk. Hembusan angin menerba wajahku, sehingga menembus kalbuku. Indahnya hidup di desa.
Mamaku sudah menungguku bersama kakak Mira dan seorang lagi gadis yang kujumpai di dalam bus, Fitri. Fitri masih memakai mukena, rupanya mereka shalat shubuh berjamaah di masjid.
Di sebelah kanan, abang iparku bersama keluarga lain saling ngobrol. Pagi hari ini sudah berkumpul seluruh keluarga. Mungkin inilah kesempatan untuk saling shering informasi. Sebentar lagi aku akan kembali ke Banda Aceh. Mama tersenyum.
“Ardi. duduklah. Ada yang ingin mama utarakan.”
“Iya, ma. Masalah apa, ya?” sambil duduk di dekat mama.
“Sebentar lagi kamu akan balik ke Banda Aceh, rasanya mama ingin kamu berlama-lama disini. Tapi apa boleh buat, pekerjaanmu sudah menunggu di sana. Tapi, perlu kamu ketahui, bahwa kakakmu telah selesai melaksanakan walimah. Sekarang bagaimana dengan kamu? Maaf, mama tidak bermaksud memaksakan kehendak mama, apa lagi kamu sudah besar, sudah tahu mana yang baik dan mana yang jelek. Ibarat seekor burung, kalau masih kecil urusan makanan selalu induknya yang mengatur, tapi kalau sudah besar, burung tersebut akan mencari sendiri.”
Kutarik nafasku dalam-dalam. Kulihat ayah mendekati. Lalu duduk disebelah kiriku. Sambil membetulkan sorbannya dan meletakkan kopiahnya diambal.
“Apakah kamu masih mengharap kawanmu itu, siapa namanya.” Ayahku menyela.
“Melati” jawab kak Mira
Aku diam, Fitri tertunduk. Aku tak tahu ada apa dalam pikirannya. Aku merasa sedang diintrogasi oleh penegak hukum. Pikiranku tumpu, tak tahu harus menjawab apa.
  “Begini, Ma, Ayah dan Kak Mira.” Aku mencoba bernegosiasi, “Kan sudah tahu, bahwa saya sudah ada calon. Insya Allah bila tiba saatnya, akan saya kabari ke sini.”
“Tapi, bagaimana mungkin, Ar. Dia saja tidak tahu kemana?” tanya Kak Mira.
“Maksudmu?” tanya ayah pada kak Mira keheranan.
Semua mata tertuju sama kak Mira. Aku hanya dia, dan pasrah apa yang akan diungkapkan kak Mira.
“Sejak mama melarang Melati mengganggu Ardi, Melati pergi. Dia tidak pernah mengabari dimana dia berada. Kalau ia ada perasaan sayang sama Ardi, tentu ia akan mengatakan dimana ia sekarang?”
“Maaf, kak Mira. Saya bukan membantah. Akan tetapi seandainya hal terjadi sama kak Mira yang sama-sama perempuan, apa yang harus kakak lakukan?”
Kak Mira diam, dia mungkin terkejut atas jawabanku. Atau dia atau bahwa aku tidak suka pada orang yang memojakkan Melati.
“Begini,” ayah mencoba menjadi penengah.”Ayah tidak melarang hubunganmu dengan Melati. Karena kamu dia sudah menjadi manusia mulia. Karena kamu ia sudah insyaf dan telah kembali ke jalan yang benar. Menarik seseorang untuk kembali melakukan kebijakan dan menjauhkan dari yang mungkar, adalah perbuatan terpuji. Dengan menikahinya, berarti imannya bertambah dan keyakinannya semakin kuat. Akan tetapi menurut hadist Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah : “Hendaklah Kalian menikah dengan para wanita yang masih perawan! Karena perawan itu lebih segar mulutnya, rahimnya lebih berpotensi melahirkan banyak anak, dan lebih mudah ridha dengan harta yang sedikit.”
 Orang tua yang bijak, selalu menuntun anaknya dengan kaedah-kaedah yang islami. Disindir oleh hadist tersebut aku menjadi kian termengu dan membisu.  Melati tak perawan lagi????
Aku bagaikan buih dilaut lepas, terombang-ambing dipermainkan gelombang. Tak tentu arah dan tujuan yang meski kupegang. Jiwa semakin goncang, pendirianku semakin goyah. Melati memang tidak suci lagi, jikalau aku mengharapkan kesucian untuk apa aku harus memberikan harapan kepadanya. Untuk aku menarik dia dari lumpur-lumpur dosa yang pada akhirnya terbentur sampai disini.
Melati, sang dara yang luruh dalam kegelapan, telah menguak tabir kehidupan. Keinsyafan dan keimanan yang sudah tertanam disanubarinya semoga kuat menghadapi cobaan hidup yang terus bertahta dalam kehidupannya.
Malam mendekat aku akan berangkat, menunaikan tugas negara, yang tepaut di negeri orang. Meninggalkan orang yang tercinta, sanak saudara dan handai tolan. Doakan aku, karena doamu adalah hidupku.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar